Pada siang hari di tengah terik yang sedang hiruk pikuk
mengadakan pesta di langit sana, aku memilih menikmati hening dalam
perpustakaan diantara tumpukan buku-buku, dengan suhu minimal berkat pendingin
ruangan.
Duduk di pojok ruangan tempat terkucil di mana dapat
mendengar detak jarum jam yang selaras dengan degubku. Menyematkan rambut ke
belakang telinga berantipati agar lirikan sesekali ku pada sosokmu tidak
terganggu.
Kamu duduk di sana seperti biasanya. Di rak buku paling
belakang dimana aku dapat menjangkau mu dengan bola mataku. Kamu duduk di
lantai sambil memegang sebuah buku, membacanya seakan seluruh dunia ada di
dalam sana. Dulu aku juga begitu sebelum bertemu denganmu, dan sekarang dunia
ku berporos padamu.
Seraya kamu mendengarkan music di headset yang mentupi
telingamu, aku mendengarkan nafasmu yang lebih indah dari alunan melody apapun.
Sayangnya kadang itu harus terganggu dengan degubku yang keterlaluan saat
tiba-tiba kau melirik ke arahku dan aku buru-buru membuang muka.
Namun seperti hari-hari yang lain kamu akan selalu
menyadarinya dan kemudian menurunkan headsetmu sejenak lalu menatapku dan
tersenyum melalui matamu. Setelahnya hanya ada dua pilihan, aku yang duduk di
lantai sampungmu atau kamu yang duduk di bangku sampingku.
Jika kamu bangkit dan segera menempatkan tubuhmu di bangku
sampingku, aku akan membeku seketika namun itu segera berganti dengan rasa
nyaman yang selalu aku rasakan di sampingmu. Kemudian kita akan sama-sama
membaca buku dengan begitu tekun. Sampai aku lelah dan kemudian meletakan
kepalaku di meja sambil menatapmu. Sekali lagi kamu akan berhenti membaca karna
aku. Kamu lalu akan melakukan hal yang sama denganku, meletakan kepalamu di
meja dan menatapku.
Perlahan tanganmu akan menyentuh rambutku dan membelainya
lembut. Begitu lembut dan nyaman nyaris membuat air mataku keluar. Kemudian
membiarkan diriku perlahan terlelap dengan lullaby nafasmu.
Adapula jika aku yang bangkit dan segara duduk di lantai
sampingmu. Lantainya dingin, namun di sampingmu membuat aku merasa dingin
bukanlah perkara besar daripada aku harus kelewatan kehangatan dan rasa nyaman
yang akan kau berikan. Kita sama-sama membaca buku dengan begitu tekun juga.
Sesekali tangan kita bersinggungan ketika aku sedang membalik halamannya.
Aku suka itu.
Maka aku selalu berusaha membaca lebih cepat dari biasanya
agar bisa merasakan kulitmu. Lagi dan lagi.
Sedekat ini dalam hening. Tanpa kata namun saling bercerita
melalui degubku, semilir angin, suara
nafas lembutmu, juga lembar demi lembar buku yang dibalik.
Ketika matamu lelah, kau akan menyenderkan kepalamu tanpa
sadar di bahuku. Aku diam membeku. Reaksinya lebih hebat dari sekedar formalin.
Rambutmu menggelitik leherku begitu lembut namun justru berakibat sebaliknya,
semakin membuatku kaku.
Aku tidak berani bergerak sedikitpun agar tidak mengganggu
lelapmu. Dan berharap bahwa degub jantung konyolku tidak membangunkanmu.
Tetapi saat itu aku belum tahu bahwa kekonyolanku membuat
kau tersenyum diam-diam. Kau menyadari semuanya. Dan kau tidak menghentikan
perasaanku ini.
Jadi salahkah kalau aku katakana bahwa ini bermulai dari
kesalahanmu?
***
Pada waktu angin sedang bertamasya dengan riang sementara
matahari mengumpat malu, kau memilih rooftop sekolah menjadi tempat paling
menyenangkan. Kau selalu seenaknya tidur di sana sambil mengenakan headset
kesayanganmu agar tidak ada suara yang mengganggu, itu katamu.
Satu kakimu kau lipat dan satunya lagi kau biarkan lurus.
Satu tanganmu kau gunakan untuk bantal atau kadang jika tiba-tiba terik
menghampiri, segera kau pindahkan ke depan wajahmu.
Sementara aku selalu datang ke sana ketika jam istirahat
telah berbunyi. Memilih mengabaikan menu makan di kantin dan buru-buru pergi ke
atap sekolah. Mendapatimu yang tengah terlelap, membuat nafasku yang terengah
sehabis berlari menjadi bukan masalah besar daripada gravitasi yang kau miliki
seperti selalu menarikku.
Ketika aku duduk di sampingmu sambil memeluk lutut, kau
pasti akan langsung menyodorkan satu kotak bekal untukku. Entah karna aku
terlalu berisik dan membuatmu terbangun atau karna memang kau menungguku.
Dengan begitu semangat aku akan memakan bekalmu. Kau bilang
kau membuatnya sendiri, dan itu yang membuatku tidak pernah tertarik dengan
embel-embel traktiran teman atau makanan kantin apapun.
Rasa bekal buatanmu enak.
Begitu enak.
Aku akan memakannya dengan lahap sementara kamu akan tertawa
kecil melihatnya. Aku selalu berjanji akan bergantian membuat bekal untukmu,
namun pasti diakhiri dengan penolakanmu buru-buru. Matamu membulat dengan ngeri
seakan masakanku adalah racun.
Itu menyebalkan.
Kamu bilang aku hanya perlu bermain dengan buku saja seperti
biasa, bukan dengan penggorengan. Dia merasa kasihan jika akan ada yang menjadi
korban.
Aku pasti akan geram dan lalu mencubitnya dengan semangat,
sementara kamu akan menghindarinya sambil tertawa. Tawa yang begitu adiktif dan
membuatku kecanduan. Tawa yang membuatku ikut tertawa ketika melihatnya. Tawa
favorite-ku.
Lalu akan berakhir dengan kau membuatku ikut berbaring di
sampingmu. Kita sama-sama menatap langit biru yang begitu indah. Merasakan
angin menggelitik lembut kulit kita. Memainkan rambut kita.
Aku suka melihat rambut coklat fluffy-mu itu disapu angin,
kening dan alis matamu akan terlihat lebih jelas.
Lagi-lagi sebelum mulut kita mengeluarkan kata, kenyamanan
sudah membunuhnya sehingga dalam heningpun terasa begitu menyenangkan.
Aku ingin selalu seperti ini, Aku ingin semuanya berhenti
dan hanya kita berdua yang saling beriringan. Aku ingin kebahagiaan yang rentan
terhadap waktu atau keadaan apapun.
Aku menatapmu yang sudah memejamkan mata, tenggelam dalam
mimpimu. Kemudian aku ikut terpejam dengan perlahan. Aku tidak dapat melihat
mimpi dalam pejamku karna bahkan aku selalu bermimpi dalam kenyataan.
Perlahan air mataku mengalir dan aku merasakan genggaman
tangamu.
***
Hari ini adalah hari terakhir. Aku berpegang kuat-kuat pada
harapan. Masih dengan seragam sepulang sekolah, aku berjalan dengan penuh
keputusan di dalam kepala. Berusaha memilah mana yang harus aku lakukan dan aku
butuhkan. Berusaha berulang kali menyangkal bahwa yang akan aku lakukan
bukanlah yang terbaik. Berusaha mencari bagian-bagian lain untuk membuatmu
tetap ada dalam cerita hidupku.
Aku mengedepankan ego ku sesaat dan melupakan harapan.
Saat itu kau lewat dengan sepedamu. Kali ini kau mengenakan
earphone di telinga. Kamu melewati aku begitu saja sebelum aku memanggilmu.
Atau mungkin memang aku tidak mau memanggilmu?
Tetapi kau berada dalam kepalaku. Kamu selalu mengetahuinya.
Kamu berbalik ke arahku. Kamu berhenti di depanku dan lagi-lagi memberikan
senyuman itu.
Dengan begitu santai kamu turun dari sepeda. Kamu nmendorong
sepedamu sambil menyelaraskan langkahku. Tanpa kata sedikitpun, kita sama-sama
saling mengerti.
Sempat aku terandung batu sehingga nyaris terjatuh, dengan
tangan sigapmu itu menopangku. Saat itu seakan oksigen di sekitarku menipis.
Lalu kita sama-sama salah tingkah. Kau menggaruk tengkukmu yang tidak gatal.
Aku suka sekali melihat kekikukanmu.
Aku suka saat berada dengan dirimu.
Aku suka saat membunuh waktu bersamamu.
Aku suka semua hal tentang dirimu.
Di mataku kamu adalah satu-satunya kesempurnaan yang dapat
terjamah.
Namun di dunia ini tidak ada kesempurnaan.
Tidak ada satupun sosok sempurna tanpa celah.
Akhirnya harapan dapat mengalahkan ego ku. Air mataku
lagi-lagi mengalir namun kali ini lebih menyakitkan dan perih. Aku nyaris mati
karna itu.
Kamu menoleh menatapku dan tentunya sudah mengerti apa yang
terjadi. Apa yang aku rasakan.
Karna kamu sempurna.
Kamu menatapku dengan wajah meringis yang juga kesakitan.
Itu mengisyaratkan bahwa kamu juga tidak baik-baik saja.
Dengan perlahan kau menyentuh air mataku dengan telunjukku.
Aku memohon dalam diam agar kamu tidak melakukan itu lagi. Itu semakin
membuatku begitu kacau.
Kamu terlalu sempurna dan kesempurnaan itu tidak ada.
Aku rasa sekarang benar-benar adalah saatnya.
“Apa sudah saatnya?” Tanyamu pertama kali. Suara yang ingin
aku dengar dari dulu. Begitu lembut di telingaku, lebih merdu dari lullaby
henbusan nafasmu.
Dengan berat hati aku mengangguk.
Kamu malah tersenyum seakan itu bukanlah perkara besar
sementara aku nyaris mati merasakan pilu ini. Kau membelai rambutku seperti
saat dulu.
Aku akan baik-baik saja.
“Kamu akan baik-baik saja. Kamu akan dewasa dan menjadi
kuat. Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Aku akan selalu ada dalam
kepalamu,” katamu berusaha menguatkanku.
Itu bukanlah kebohongan tetapi bukan juga sebuah kebenaran.
Karna dari awal kau memang tidak pernah ada.
Aku memejamkan mata sambil mengisak. “Aku mencintaimu,” ujar
kami secara bersamaan.
Dan kamu mencium bibirku sebelum aku membuka mata dan tidak
lagi menemukan kamu di sana.
Tidak dimanapun.
Kau terlalu sempurna dan kesempurnaan itu tidak ada. Untuk
jadi dewasa aku harus bisa menerima segala hal yang tidak sesuai keinginanku.
Termasuk ketidak beradaan dirimu dan kesendirianku.
Kesendirian, kesepian dan rasa piluku membuatku
menghadirkanmu di tempat yang tidak seharusnya. Membuatku menggambarkanmu
dengan sangat sempurna bahkan tanpa perlu berkata apa-apa.
Aku menyadarinya dari awal, tapi malah menyangkalnya dan
menyalahkanmu. Kau memang tidak bisa menghentikan perasaanku, karna harus
akulah yang menghentikannya.
***
**Delusi disorder.
** Hallucination.