Sabtu, 14 Januari 2017

Sosok Sempurna




Pada siang hari di tengah terik yang sedang hiruk pikuk mengadakan pesta di langit sana, aku memilih menikmati hening dalam perpustakaan diantara tumpukan buku-buku, dengan suhu minimal berkat pendingin ruangan.
Duduk di pojok ruangan tempat terkucil di mana dapat mendengar detak jarum jam yang selaras dengan degubku. Menyematkan rambut ke belakang telinga berantipati agar lirikan sesekali ku pada sosokmu tidak terganggu.
Kamu duduk di sana seperti biasanya. Di rak buku paling belakang dimana aku dapat menjangkau mu dengan bola mataku. Kamu duduk di lantai sambil memegang sebuah buku, membacanya seakan seluruh dunia ada di dalam sana. Dulu aku juga begitu sebelum bertemu denganmu, dan sekarang dunia ku berporos padamu.
Seraya kamu mendengarkan music di headset yang mentupi telingamu, aku mendengarkan nafasmu yang lebih indah dari alunan melody apapun. Sayangnya kadang itu harus terganggu dengan degubku yang keterlaluan saat tiba-tiba kau melirik ke arahku dan aku buru-buru membuang muka.
Namun seperti hari-hari yang lain kamu akan selalu menyadarinya dan kemudian menurunkan headsetmu sejenak lalu menatapku dan tersenyum melalui matamu. Setelahnya hanya ada dua pilihan, aku yang duduk di lantai sampungmu atau kamu yang duduk di bangku sampingku.
Jika kamu bangkit dan segera menempatkan tubuhmu di bangku sampingku, aku akan membeku seketika namun itu segera berganti dengan rasa nyaman yang selalu aku rasakan di sampingmu. Kemudian kita akan sama-sama membaca buku dengan begitu tekun. Sampai aku lelah dan kemudian meletakan kepalaku di meja sambil menatapmu. Sekali lagi kamu akan berhenti membaca karna aku. Kamu lalu akan melakukan hal yang sama denganku, meletakan kepalamu di meja dan menatapku.
Perlahan tanganmu akan menyentuh rambutku dan membelainya lembut. Begitu lembut dan nyaman nyaris membuat air mataku keluar. Kemudian membiarkan diriku perlahan terlelap dengan lullaby nafasmu.
Adapula jika aku yang bangkit dan segara duduk di lantai sampingmu. Lantainya dingin, namun di sampingmu membuat aku merasa dingin bukanlah perkara besar daripada aku harus kelewatan kehangatan dan rasa nyaman yang akan kau berikan. Kita sama-sama membaca buku dengan begitu tekun juga. Sesekali tangan kita bersinggungan ketika aku sedang membalik halamannya.
Aku suka itu.
Maka aku selalu berusaha membaca lebih cepat dari biasanya agar bisa merasakan kulitmu. Lagi dan lagi.
Sedekat ini dalam hening. Tanpa kata namun saling bercerita melalui degubku, semilir angin,  suara nafas lembutmu, juga lembar demi lembar buku yang dibalik.
Ketika matamu lelah, kau akan menyenderkan kepalamu tanpa sadar di bahuku. Aku diam membeku. Reaksinya lebih hebat dari sekedar formalin. Rambutmu menggelitik leherku begitu lembut namun justru berakibat sebaliknya, semakin membuatku kaku.
Aku tidak berani bergerak sedikitpun agar tidak mengganggu lelapmu. Dan berharap bahwa degub jantung konyolku tidak membangunkanmu.
Tetapi saat itu aku belum tahu bahwa kekonyolanku membuat kau tersenyum diam-diam. Kau menyadari semuanya. Dan kau tidak menghentikan perasaanku ini.
Jadi salahkah kalau aku katakana bahwa ini bermulai dari kesalahanmu?

***

Pada waktu angin sedang bertamasya dengan riang sementara matahari mengumpat malu, kau memilih rooftop sekolah menjadi tempat paling menyenangkan. Kau selalu seenaknya tidur di sana sambil mengenakan headset kesayanganmu agar tidak ada suara yang mengganggu, itu katamu.
Satu kakimu kau lipat dan satunya lagi kau biarkan lurus. Satu tanganmu kau gunakan untuk bantal atau kadang jika tiba-tiba terik menghampiri, segera kau pindahkan ke depan wajahmu.
Sementara aku selalu datang ke sana ketika jam istirahat telah berbunyi. Memilih mengabaikan menu makan di kantin dan buru-buru pergi ke atap sekolah. Mendapatimu yang tengah terlelap, membuat nafasku yang terengah sehabis berlari menjadi bukan masalah besar daripada gravitasi yang kau miliki seperti selalu menarikku.
Ketika aku duduk di sampingmu sambil memeluk lutut, kau pasti akan langsung menyodorkan satu kotak bekal untukku. Entah karna aku terlalu berisik dan membuatmu terbangun atau karna memang kau menungguku.
Dengan begitu semangat aku akan memakan bekalmu. Kau bilang kau membuatnya sendiri, dan itu yang membuatku tidak pernah tertarik dengan embel-embel traktiran teman atau makanan kantin apapun.
Rasa bekal buatanmu enak.
Begitu enak.
Aku akan memakannya dengan lahap sementara kamu akan tertawa kecil melihatnya. Aku selalu berjanji akan bergantian membuat bekal untukmu, namun pasti diakhiri dengan penolakanmu buru-buru. Matamu membulat dengan ngeri seakan masakanku adalah racun.
Itu menyebalkan.
Kamu bilang aku hanya perlu bermain dengan buku saja seperti biasa, bukan dengan penggorengan. Dia merasa kasihan jika akan ada yang menjadi korban.
Aku pasti akan geram dan lalu mencubitnya dengan semangat, sementara kamu akan menghindarinya sambil tertawa. Tawa yang begitu adiktif dan membuatku kecanduan. Tawa yang membuatku ikut tertawa ketika melihatnya. Tawa favorite-ku.
Lalu akan berakhir dengan kau membuatku ikut berbaring di sampingmu. Kita sama-sama menatap langit biru yang begitu indah. Merasakan angin menggelitik lembut kulit kita. Memainkan rambut kita.
Aku suka melihat rambut coklat fluffy-mu itu disapu angin, kening dan alis matamu akan terlihat lebih jelas.
Lagi-lagi sebelum mulut kita mengeluarkan kata, kenyamanan sudah membunuhnya sehingga dalam heningpun terasa begitu menyenangkan.
Aku ingin selalu seperti ini, Aku ingin semuanya berhenti dan hanya kita berdua yang saling beriringan. Aku ingin kebahagiaan yang rentan terhadap waktu atau keadaan apapun.
Aku menatapmu yang sudah memejamkan mata, tenggelam dalam mimpimu. Kemudian aku ikut terpejam dengan perlahan. Aku tidak dapat melihat mimpi dalam pejamku karna bahkan aku selalu bermimpi dalam kenyataan.
Perlahan air mataku mengalir dan aku merasakan genggaman tangamu.

***

Hari ini adalah hari terakhir. Aku berpegang kuat-kuat pada harapan. Masih dengan seragam sepulang sekolah, aku berjalan dengan penuh keputusan di dalam kepala. Berusaha memilah mana yang harus aku lakukan dan aku butuhkan. Berusaha berulang kali menyangkal bahwa yang akan aku lakukan bukanlah yang terbaik. Berusaha mencari bagian-bagian lain untuk membuatmu tetap ada dalam cerita hidupku.
Aku mengedepankan ego ku sesaat dan melupakan harapan.
Saat itu kau lewat dengan sepedamu. Kali ini kau mengenakan earphone di telinga. Kamu melewati aku begitu saja sebelum aku memanggilmu.
Atau mungkin memang aku tidak mau memanggilmu?
Tetapi kau berada dalam kepalaku. Kamu selalu mengetahuinya. Kamu berbalik ke arahku. Kamu berhenti di depanku dan lagi-lagi memberikan senyuman itu.
Dengan begitu santai kamu turun dari sepeda. Kamu nmendorong sepedamu sambil menyelaraskan langkahku. Tanpa kata sedikitpun, kita sama-sama saling mengerti.
Sempat aku terandung batu sehingga nyaris terjatuh, dengan tangan sigapmu itu menopangku. Saat itu seakan oksigen di sekitarku menipis. Lalu kita sama-sama salah tingkah. Kau menggaruk tengkukmu yang tidak gatal. Aku suka sekali melihat kekikukanmu.
Aku suka saat berada dengan dirimu.
Aku suka saat membunuh waktu bersamamu.
Aku suka semua hal tentang dirimu.
Di mataku kamu adalah satu-satunya kesempurnaan yang dapat terjamah.
Namun di dunia ini tidak ada kesempurnaan.
Tidak ada satupun sosok sempurna tanpa celah.
Akhirnya harapan dapat mengalahkan ego ku. Air mataku lagi-lagi mengalir namun kali ini lebih menyakitkan dan perih. Aku nyaris mati karna itu.
Kamu menoleh menatapku dan tentunya sudah mengerti apa yang terjadi. Apa yang aku rasakan.
Karna kamu sempurna.
Kamu menatapku dengan wajah meringis yang juga kesakitan. Itu mengisyaratkan bahwa kamu juga tidak baik-baik saja.
Dengan perlahan kau menyentuh air mataku dengan telunjukku. Aku memohon dalam diam agar kamu tidak melakukan itu lagi. Itu semakin membuatku begitu kacau.
Kamu terlalu sempurna dan kesempurnaan itu tidak ada.
Aku rasa sekarang benar-benar adalah saatnya.
“Apa sudah saatnya?” Tanyamu pertama kali. Suara yang ingin aku dengar dari dulu. Begitu lembut di telingaku, lebih merdu dari lullaby henbusan nafasmu.
Dengan berat hati aku mengangguk.
Kamu malah tersenyum seakan itu bukanlah perkara besar sementara aku nyaris mati merasakan pilu ini. Kau membelai rambutku seperti saat dulu.
Aku akan baik-baik saja.
“Kamu akan baik-baik saja. Kamu akan dewasa dan menjadi kuat. Tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Aku akan selalu ada dalam kepalamu,” katamu berusaha menguatkanku.
Itu bukanlah kebohongan tetapi bukan juga sebuah kebenaran. Karna dari awal kau memang tidak pernah ada.
Aku memejamkan mata sambil mengisak. “Aku mencintaimu,” ujar kami secara bersamaan.
Dan kamu mencium bibirku sebelum aku membuka mata dan tidak lagi menemukan kamu di sana.
Tidak dimanapun.
Kau terlalu sempurna dan kesempurnaan itu tidak ada. Untuk jadi dewasa aku harus bisa menerima segala hal yang tidak sesuai keinginanku. Termasuk ketidak beradaan dirimu dan kesendirianku.
Kesendirian, kesepian dan rasa piluku membuatku menghadirkanmu di tempat yang tidak seharusnya. Membuatku menggambarkanmu dengan sangat sempurna bahkan tanpa perlu berkata apa-apa.
Aku menyadarinya dari awal, tapi malah menyangkalnya dan menyalahkanmu. Kau memang tidak bisa menghentikan perasaanku, karna harus akulah yang menghentikannya.

***
**Delusi disorder.
** Hallucination.