Kamis, 05 September 2013

bukan seharusnya


Cerpen Bukan SeharusnyaBy: Mentary @AIITHARICH




Mendekatlah, akan kuceritakan padamu apa itu membenci sekaligus mencintai. Derita yang harus dilakoni setiap harinya sebagai actor dalam kehidupan. Jangan berisik, ini tentang rahasia yang selama ini selalu kuceritakan pada tembok jadi berjanjilah jangan pernah mengatakan pada siapapun, sungguh ini adalah hala yang selama ini aku kutuk tiap malam. Cerita yang benar-benar nyata tapi selalu ku doa berharap ketika aku bangun tak pernah terjadi. Lebam-lebam pada hati sudah benar-benar terjadi, entah aku harus menyalahkan siapa tapi sungguh aku membencinya. Dan ingat sekali lagi ini rahasia kawan karena ketika kau ceritakan, mereka akan membual menjatuhkanku semakin membuatku menderita. Benci itu dimulai pada saat malam purnama sedang bermain dengan cantik memandikan sinarnya pada aku dan dia yang terbaring penuh cinta pada kasur dengan selimut yang ingut bercumbu.
Ingat ini rahasia kawan…







Matahari pagi itu menusuk wajahku jelas tak mau kalah oleh purnama yang semalam membuat kami berpesta seperti binatang buas tanpa norma diatas kasur putih lembut ini. Aku mulai mengatur nafas yang kamu buat tak teratur berkat erangan merdu semalam. Pegal-pegal masih kurasa di tubuhku serta harum bau keringatmu yang begitu kunikmati saat berada dipelukan. Dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan senyum merekah menatapku seperti biasas etelah menghabiskan malam bersama. Aku mencintainya.
Aku masih dalam keadaan tidak wajar terbaluti selimut, sesekali dia melirik iningin lagi tapi waktu memaksa kami berhenti. Melihatnya benar-benar membuatku teduh dan nyaman seakan seseorang yang berada di malam itu adalah bukan dia. Dia mendekat mencium keningku penuh cinta. Aku meraa dia bukan iblis yang sering menghabiskan malam seperti biasa bersamaku.
“Mandilah sayang aku akan bergegas pergi,”ujarnya embut.
Aku benci perpisahan, aku tahu rindu akan menemaniku lagi. Ada air yang membasahi pipiku. Dia melihatnya dengan haru lalu mendekapku erat, menyediakan bahunya seperti biasa untuk mengeringkan air mataku.
“Kenapa kau menangis? Hanya sebentar dan kita pasti bertemu lagi kan.”
“Suta..” Kataku lirih. Dia makin kuat mendekapku saat tangisku makin pecah. “JAngan pernah tinggalkan aku? Kita akan bersama janji?”
“Tentu saja,”jawabnya pasti.
Aku lega, aku percaya sepenuhnya padanya, aku membencinya karena hal itu tapi juga teramat mencintainya. Dengan wajah berseri aku yakin mengatakan kabar baik ini dan pasti akan membuat kita saling bersama lalu Suta akan melupakan wanita yang sempat membuatnya berpaling itu. Hal yang pernah membuat aku benci setengah mati ketika mereka bercumbu di kasur ku dulu.
“Aku hamil sayang.”
Wajah penuh cinta dan teduh Suta berubah menjadi geram persis seperti wajahku dulu yang menelanjanginya sedang bercumbu dengan wanita jalang itu. Suta kalap, dia mengacak-ngacak kasur dan menarik selimut yang kubuat menutupi tubuhku. “TIDAK MUNGKIN!”
Itu yang paling aku ingat dari perkataannya. Puncak semua dendam yang selama ini kubungkus dengan pemaafan. Ini keterlaluan, apa maksudnya tidak mungkin? Dia menuduh aku melakukan dengan orang lain?
Atau dia menyuruhku membunuh anak ku sendiri?
Botol bir yang semalam kita nikmati bersama diantara peluk cium penuh mesrapun aku ambil dan lalu siap ku pukul menghantam kepalanya.
Ingat ini rahasia kawan…

*

Bau rumah sakit begitu khas dan menusuk hidung pengunjunga yang tak terbiasa. Tapi tidak bagi dia, bau rumah sakit kini sudah menjadi kebiasaannya semenjak seseorang yang begitu dia cintai dan juga dia benci menetap di sana.
“Kau datang mengunjung lagi? Setiap hari?” Ujar seorang dokter yang biasa menangani sambil mendekat.
Dia tersenyum. “Ini semua karena aku kalau tidak mana mungkin dia di sini.”
“Sepertinya bukan salahmu sepenuhnya, aku sering mendengar apa yang dia celotehkan dan apa yang kamu jelaskan ini hanya kesalah pahaman.”
“Iya dia menyalahkan aku atas semuanya bukan? Mungkin memang aku yang salah.” Ujar orang itu sungguh menyesal.
“Itu hanya karena kejiwaannya terganggu, sebenarnya dia sangat mencintaimu terlihat jelas dia tak bisa memaafkan dirinya setelah memukul kau dengan botor bir itu, buktinya dia sampai tinggal di Rumah Sakit Jiwa ini.”
Suta tak bisa menahan air matanya, memalukan memang untuk seorang pria tapi dia begitu mencintaiIstrinya itu. “Iya dok malam itu kami berhubungan suami istri seperti biasa tepat 7tahun ulang tahun pernikahan kita. Paginya dia mengatakan dia hamil. Aku marah dan menyuruhnya menggugurkan. Mana mungkin seseorang mandul bisa hamil? Mungkin dia membalas dendam karena aku sempat terpikir mempunyai anak dengan wanita lain. Tapi sunguh aku mencintai istriku.”
---

Tidak harus memiliki



Cerpen Tidak Harus MemilikiBy: Mentary @AIITHARICH



ADERIA…
Sepoi angin di sore hari menyapu rambutku yang sengaja kuriap menutupi wajah senja yang jelas terpahat. Lembar-lembar buku itu ku balik berulang kali tanpa terbaca hanya abjad-abjad yang menyembul dengan karakter berbeda yang setidaknya ku konsumsi untuk pura-pura menutupi kegelisahan ini. Pikiranku jauh pergi ke tempat lain bersama luka-luka yang pernah mendobrak tameng pertahananku. Dengan sisa-sisa keeping percaya kini kembali aku bangun benteng siaga jikalau adalagi yang ingin menjatuhkan ku lebih dalam daripada pengkhianatan. Seharusnya semua itu tak lagi kupikirkan tapi apadaya perasaan selalu berusaha menjadi pimpinan.
Kini aku punya seseorang lain yang beberapata tahun belakangan ini menjagaapa yang aku pertahan, iya kepercayaan. Dia mengobati luka yang tak terlihat itu dengan semua perhatian yang dia berikan. Aku teramat mencintainya, seharusnya. Sial ego ku selalu seperti itu, ponggah pada kenyataan lalu menyelami kembali luka-luka dulu dan kadang berharap tak pernah terjadi padahal ada dia yang kini bersama  ku.
Aku terperanjatketika sadar di pojok taman Mikha menatapku, dan karna refleksku menantang sekarang kami saling bertatapan. Mikha sama sekali tak bergeming berniat mengalihkan pandangannya. Akupun salah tingkah sendiri seperti gadis-gadis pemain boneka yang kekanakan itu. Bola mata coklat, wajah polos , alis tebal dan bibir yang ingin sekali aku miliki itu benar-benar membuatku sepersekian detik ingin dating dan mengacak-acak lembut rambutnya seperti biasa. Dia adalah orang yang sering sekali mengisi buku diary ku dengan tulisan-tulisan yang akan aku baca berkali-kali sambil tersenyum konyol.
Ah tidak, apa mungkin dia tadi melihat aku melamun? Sungguh apa yang harus ku katakan kalau dia bertanya apa yang aku lamunkan. Aku belum juga membuang muka begitu juga Mikha dia benar-benar seperti menguasai aku dengan tatapannya itu. Ini bukan pribadi Mikha yang sepeti biasa dengan segala kepolosannya, entah apa yang dipikirkan dia saat itu. Sudah berkali-kali jarum jam berdetak sampai aku yang harus membuang pandang terlebih dahulu.
Tapi Mikha masih menatapku…
Aku bangkit meninggalkan air mancur pusat taman sekolah itu bergegas memerdekakan diri dari tatapannya yang menjajah, tatapan yang diam-diam sebenarnya ku nikmati. Tentengan tas tak begitu berat tapi punggungku terasa panas aku tahu itu karna mika masih menatapku dari belakang. Jantungku benar-benar berderu meminta reparasi pada buku diary yang siap menjadi tempat sampah yang sangat ku hormati.
Keluar dari pagar sekolah aku segera memanggil taksi agar mengantarku menuju rumah. Aku menyayanginya. Kadang aku takut ada hal lllain terjadi, aku benci perubahan dan harus mengulang dari awal. Aku nyaman dengan semua ini. Ku pegang erat kalung berinsial M dan A sambil tersenyum. Setia adalah apa yang harus dihasilkan dari kepercayaan. Semoga Mikha tak menangkap apa yang tadi kupikirkan.

MIKHA…
Kali ini aku berani menatapnya lebih lama dari biasa atau bahkan sangat lama, tak adalagi mencuri-curi pandang seperti anak kecil yang ingin menyontek pada ulangan di pelajaran yang tak dia mengerti. Aku mengerti tentang Aderia jadi untuk apa aku harus mencuri-curi? Bukankah lebih akan jelas kalau menatapnya dengan penuh. Aku benar-benar terpikat sore itu, di antara lalu lalang keramaian siswa bergegas pulang dia duduk di sisi air mancur dengan novel romantic yang selalu dia baca. Aku pernah berkhayal suatu ketika saat membaca dalam lekat imajinasinya adalah aku dan dia yang saling bahagia dalam tiap abjad dalam novel itu. Berharap kita adalah mimpi yang dijadikan nyata oleh Tuhan.
Angin setuju pada pendapatku, dia memainkan rambut indah Aderia sehingga lemak di pipi yang membuat lucu itu dan mata kucingnya semakin terlihat jelas. Mungkin gila tapi sungguh rasanya aku ingin berlari memeluknya dan tak akan pernah melepaskannya dari jari-jari yang biasa ku gunakan memetik gitar sambil menyenandungkan lagu tentangnya tiap malam.
Tiba-tiba Aderia menatapku balik.
Mata kami saling bertatapan.
Jantungku mau copot seperti digoncang-goncangkan pada permainan penguji adrenalin.
Wajahnya benar-benar membuat aku terkunci tatap ingin mencium lembut bibir merahnya. Gila? Sangat. Bagaimana mungkin apalagi sedari tadi dia melamun, aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu tentang masa lalunya. Atau tentang orang yang dia cintai. Semoga aku. Aku benci mengetahui orang lain yang dia pikirkan. Beberapa saat setelah daun ikut menjatuhkan dirinya pada pesona Aderia akupun tersadar dia bangun dan bergegas pergi. Aku masih menatapnya sambil memaki diriku sendiri. Punggungnya telah pergi tapi hati ini masih sendu.
Walau temaram karna jarak aku masih dapat melihat dia memegang erat kalung yang dia kenakan. Liontin manis berukiran M dan A yang jelas tak pernah kuberi. Semua itu membuyarkan khayalan ku jelas Aderia bukan lagi milikku. Dia milik Magenta orang yang telah mengobati luka-luka di hatinya karna kepergianku meninggalkannya begitu saja waktu itu. Sekarang aku kembali lagi dan ingin meminta seperti dulu? Ku rasa mustahil. Perjuangan yang kita lakukan bersama dulu sia-sia begitu saja ketika aku pergi dipisahkan oleh orang tua kami.
Adakalanya cinta memang munafik ketika lafal cinta tak harus dimiliki memang harus terjadi.
Dikala asal dia bahagia aku juga bahagia terpaksa dilakoni.
Setiap malam aku hanya bisa menyanyi sambil menatap bulan memikirkannya. Atau ketika kami bertemu di rumah hanya bersikap biasa seperti tak pernah ada apa-apa. MEnjalani hari-hari seperti keluarga sewajarnya. Iya aku sadar memang tidak mungkin seorang adik dan kakak saling mencintai lebih dari ikatan keluarga. Setelah perjuangan yang sia-sia aku hanya akan tetap menjadi adik polosnya seperti sedia kala.

Bahagia dengan seharusnya



Cerpen: Bahagia Dengan Seharusnya
By: Mentary @AIITHARICH



Di kepalaku menguap banyak jika yang tak akan pernah lagi jadi nyata. Kini hanya dapat menikmati luka dan menyenandungkan penyesalan merintih memaki pilihan. Penyesalah memang selalu datang diakhir bersama pilihan-pilihan nekat yang awalnya berharap kebahagiaan namun takdir menyuratkan kesedihan. Kehilangan telah menenggelamkan aku dalam harapan dan perjuangan yang selama ini telah jadi sia-sia.
“Kita sama-sama wanita seharusnya kau mengerti apa yang aku rasakan Nin.”
“Aku mengerti tapi apa kau tahu kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan bukan menunggu orang lain memberikan.”
“Kamu benar Kaninta tapi tidakkah kau tahu juga yang kau lakukan bukan menciptakan kebahagiaan tapi merebut kebahagiaan. “
“Terserah apa yang kau katakan tapi dia lebih memilih aku daripada kamu dan kami saling mencintai. Lupakan dia.”
Gadis itu tak dapat lagi menahan deras air yang tertahan di kelopak matanya. Perih yang dia rasakan sudah terjadi, orang yang dia banggakan meninggalkannya demi wanita lain yang dengan mudah menghancurkan dongeng kebahagiaannya. Kaninta sahabatnya sendiri kini telah bersama separuh hatinya yang dulu teramat dia jaga.

**

Gadis itu duduk termenung di pojok kelas yang telah sunyi sedari tadi sambil mencorat-coret meja nama dia dan pria yang dia tunggu. Sesekali dia melihat kearah jam dinding yang berada di depan tepat diatas whiteboard bertuliskan rumus-rumus variable yang tak dapat dia cerna di dalam kepala karna sudah penuh dengan rindu seseorang yang masih dia tunggu. Ruang itu begitu sunyi tapi tidak dengan detakan jantuk gadis itu juga teriakan hati yang mengeluarkan bunyi helaan nafas berkali-kali berkepanjangan seperti menciptakan melodi orchestra kesedihan. JEmari kanannya masih sibuk membuat ukiran-ukiran di mejanya yang kini berubah menjadi coretan-coretan kemarahan. Dia benci menunngu tapi dia harus melakukan itu.
Perlahan dengan jari-jari gemetar dan kepulan mendung yang berada di retinanya dia mengambil handphone di saku seragamnya. Dia membuka kotak masuk dan membaca kembali pesan masuk yang seharusnya dia simpan di dalam kotak usang bernama melupakan. Jelas pengirimnya adalah Rio, orang yang dia tunggu.

"Aku tak dapat meneruskan ini lagi. Yang kau lihat kemarin benar, aku mencintainya melebihi rasaku padamu. Maaf."

Tapi inilah cinta dengan segala kebodohan yang mengatas namakan ketulusan. Setelah lelah berjuang sendirian gadis itu berusah bertahan pada ketidak psatian. Gadis itu percaya seperti hari-hari biasa Rio akan datang menjemputnya di kelas dan berkunjung sejenak kerumahnya karna alasan masih panas. Ia panasnya rindu yang tidak ingin pisah. Dengan langkah lunglai gadis itu menyadarkan dirinya bahwa pada nyata ta aka nada lagi Rio untuknya. Dia memacu dengan cepat motornya kearah harga dirinya akan tumpah. Tangisnya akan meleleh dan ditertawakan pilihan. Ditampar oleh penyesalan.|
Gadis itu tahu semua tak akan berjalan baik-baik saja ketika melihat orang yang dia cari sudah berada di depannya membuka pintu, tapi ego nya memacu untuk tetap merobohkan harga diri yang selama ini dia ponggahkan.
“Kita sama-sama wanita seharusnya kau mengerti apa yang aku rasakan.”
“Aku mengerti tapi apa kau tahu kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan bukan menunggu orang lain memberikan.”
“Kamu benar  tapi tidakkah kau tahu juga yang kau lakukan bukan menciptakan kebahagiaan tapi merebut kebahagiaan aku Lea? “
Mereka berdua sama-sama terdiam dan benar sudah air mata gadis itu mengalir lebih deras dari air, lebih banyak dari hujan. Sesuatu teriris di ujung pilu.
“Tapi aku benar-benar mencintainya, begitu juga Rio. Aku tahu ini salah tapi inilah pilihan aku walaupun kelak harus menyesal aku akan tetap menjalani,”ujar Lea dengan pasti namun ada rasa kasihan di dalam lautan ego nya.
Gadis itu masih belum menyerah, dia masih berharap Lea dapat membiarkan Rio pulang ke hatinya dan kembali menetap di sana sementara dia akan membuat Rio kembali merasakan bunga-bunga yang dulu mereka tanam bersama dengan tawa.
“Ku mohon apa aku harus meronta mengais dan meminta agar dia kembali? Hanya kamu yang dapat membuatnya seperti awal lagi.” Habis sudah harga diri gadis itu, dia tak layaknya seorang penggerumul yang mempertahankan asumsinya padahal nihil terlihat di depan mata.
“Kalau aku merelakan apa Rio benar-benar akan kembali padamu? Apa dia tak akan mencari yang lain? Atau bahkan dia akan mekin membencimu? KAu sendiri yang bilang kita sama-sama wanita bukan? Seharusnya kau mengerti apa yang aku rasakan. Aku dan da sama-sama mencintai., dia memilih aku.”
Telak semua yang dikatakan Lea tepat, tak adalagi harapan dalam pernyataan-pernyataan kosongnya.  Diapun kembali menuju motor kesayangannya walaupun gerimis telah berubah menjadi deras, hujan ikut menangis. Lea menawarkan untuk sejenak berteduh dulu di rumahnya tapi tidak yang dikatakan gadis itu. Mana mungkin dia mampu terus-terusan menatap seseorang yang telah merebut separuh hatinya. Dengan sisa-sisa tenaganya dia mengendarai motor itu ketempat pulang yang tidak selengkap dulu, pulang yang tidak lagi ada Rio menunggu. Bahagia itu diciptakan bukan diberikan  dan merbut kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaan dengan paksaan. Kelak orang yang memilih kamu dan meninggalkan kekasihnya akan meninggalkan kamu juga demi orang lain karna orang seperti itu selalu mencari kesempurnaan. Sesungguhnya cinta itu adalah mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna yaitu saling melengkapi. Sekarang gadia itu hanya bisa menikmati penyesalan yang menjalar pada dirinya karna pilihan yang dia harap kebahagiaan berubah menjadi kesedihan. Ketika membuka pintu rumah dengan basah karna hujan dan Kristal-kristal di pipi yang ditutupi dia mengambil sapu tangan dan menyeka wajahnya yang penuh sendu. Dimasukkan kembali sapu tangan special berinisial R dan K itu. Rio dan Kaninta

 Mungkin ini yang dulu dirasakan orang yang kebahagiaannya aku rebut dulu.
Karma itu memang ada untuk orang-orang yang meminta dihampiri.
Aku mengambil handphone di saku dan segera menulis pesan singkat untuk teman yang sudah jauh di sana karena pernah terkhianati.

aku mengirim pesan singkat untuk fieska.

Kebahagiaan itu memang seharusnya tidak dengan merebut kebahagiaan orang lain.
Kaninta, sahabat mu yang begitu jahat."