Minggu, 27 Oktober 2013

Perihal Gincu dan dua kartu mati

Perihal gincu dan dua kartu mati (Part I)
By: Mentary @AIITHARICH
Cerpen duet





-Kau dapat menemukan PartII- ending pada:
http://wanitapenyukasenja.blogspot.com/




Perempuan itu memoles bibirnya dengan gincu yang tidak lebih merah dari darah senggama setiap melayani pria-pria yang memberi dia dan keluarganya kehidupan. Dia memoles wajahnya yang tidak pula lebih putih dari hatinya. Bagi sebagian orang dia adalah hina tapi bagi dirinya apapun untuk keluarga. Baginya tubuhnya tak pernah sakral namun hatinya begitu dia jaga. Sementara orang lain menyakralkan tubuh mereka sementara hati penuh kebusukan. Perempuan itu menatap dua buah hatinya yang tertidur pulas. Kedua gadis yang dia cintai. Malam sudah terus mengocehi perempuan bernama Laksmi itu untuk segera berburu uang. Nyamuk kian liar menggerayangi tubuh kedua buah hatinya diatas kasur reot dengan kapuk mencuat kemana-mana, lampu petromak yang temaram dan dinding-dinding bata belum teramplas. Tembok yang begitu perih jika digesekkan ke kulit, lebih perih dari kau jatuh pada aspal dan tembok perih itu sudah pernah merobek kulit wajahnya karna perbuatan biadab suaminya si pemabuk. Mantan suami lebih tepatnya.
Perempuan itu mengambil lotion anti nyamuk dan mengolesi pada tubuh anaknya. Dia merasakan perih ketika duduk pada kemaluannya. Dia tau kanker rahim telah menyerangnya, syukur bukan HIV/AIDS pikirnya. Dia hanya tahu menghidupi buah hatinya. Bahkan dia juga tak tahu apa bahaya kanker rahim hanya dengan sekolahnya SD yang juga tidak tamat dan ditelantarkan kehidupan dengan pria yang tidak bertanggung jawab, ah sudahlah. Maka dari itu dia tidak ingin kedua buah hatinya seperti dia, dia ingin membiayai sampai lulus walaupun kadang sedih melihat dua buah hati kesayangannya harus dicaci oleh temannya karna profesi dirinya.
“Ibu mau kerja?” Kunto seorang anak berumur enam tahun bangun merasakan ada tetesan air mata pada kakinya. Iya, air mata Laksmi.
Mendengar suara itu tentu saja Rinipun ikut terbangun. “Ibu bisa tidak kerja? Beberapa jam lagi ulang tahun Rini.” Sambung gadis yang dua jam lagi sudah berumur Empat belas tahun.
Laksmi tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya, dia memeluk dua buah hatinya. “Ibu kerja dulu ya sayang. Ibu mau bayar uang sekolah kalian ,juga beli kado buat kamu Rini dan mainan baru buat Kunto.”
Dengan wajah polos dan rasa kecemasan yang membuncah setiap harinya mereka mengiyakan sambil mendoakan ibunya sebelum pergi. Mereka tahu apa yang dilakukan ibunya salah di mata manusia tapi Tuhan lebih tahu segalanya bukan? Mereka menatap nanar ibunya setiap malam-malam biasa menunggu ibunya pulang dengan harap-harap cemas ayah mereka akan datang sambil memaki-maki atau takut esok ibunya pulang tidak dengan selamat. Begitu juga Laksmi yang berharap ada pelanggan di usianya yang mulai tua juga penyakitnya, siapa lagi yang akan membayar mahal? Tapi dia tetap bertahan untuk kedua buah hatinya walau kadang takut kerap datang meninggalkan mereka sendirian di rumah.
Dia berjalan keluar rumah menuju kejamnya kehidupan yang sering dia lakoni untuk memberi surga pada buah hatinya. Tidak boleh ada sedikitpun yang menyakiti mereka. Laksmi menatap sekeliling wanita-wanita jalang yang sudah menerima pelanggan, kecuali dia. Tentu saja mereka muda-muda, setebal apapun Laksmi bersolek umur tak akan membohongi. Kado ulang tahun, mainan baru, dan bayaran sekolah. Walaupun kehidupan tidak adil namun Tuhan itu adil, dia percaya itu.
Laksmi menyusuri kedai-kedai kopi yang telah berubah menjadi tempat portitusi pada malam kini. Kendaraan umum mulai sepi berganti mobil-mobil don juan yang siap menghaburkan uang memuaskan birahi mereka. Menjijikan namun itulah sumber kehidupan Laksmi. Dia hanya melakukan ini demi kedua buah hatinya, garis bawahi itu.
“Hei wanita tua untuk apalagi kau di sini, sudah tak laku kau. Tak ada pula yang sudi memakai perempuan penyakit seperti mu.” Teriak seorang pemabuk yang dulu pernah dia layani sambil menikmati beberapa tegukan.
Semua arah melihat dia, jijik pandangan mereka. Laksmi ingin berteriak rasanya kalau merekalah yang menjijikan. Bukankah sama-sama kita mencari kehidupan di sini. Laki-laki itu masih meracau sementara Laksmi terus berjalan sekiranya mendapatkan uang untuk kado manis anak-anaknya atau bayaran sekolah yang sudah banyak menunggak. Kedua buah hatinya akan dikeluarkan bila belum juga mendapatkan uang.

#

“Buka pintunya anak manis! Ayah pulang. Apa kalian tidak merindukan ayah?”
Rini dan Kunto berpelukan ketakutan dalam rumah satu petak itu. Di depan berdiri seseorang yang seharusnya tidak lagi mereka temui dengan segenggam botol bir yang dengan leluasa dia teguk. Kunto menangis sementara Rini menenangkan padahal dalam hatinya begitu ketakutan.
“Kenapa tak mau buka? Ayah punya banyak uang, kalian butuh bukan? Ayolah Rini tak ada ibumu dia pasti sedang menjajah badannya. Ayah akan memberikanmu apapun mari layani ayah tersayangmu ini.”

Jijik mendengarnya, seperti belati menikam lalu menyayat hatinya. Ayah yang hatrusnya dia banggakan dan menjaga malah seperti binatang buas yang akan menghabisinya. Ayahnya terus menggedor-gedor pintu. Dia hanya berharap semua baik-baik saja. Dia harap Tuhan benar-benar ada untuk mereka semua.


nb: cerita ini hanya fiksi maaf jika ada yang tidak berkenan.

menerima cerpen by request tema atau judul. Ataupula cerpen duet lainnya.

Malaikat Hitam

Cerpen Malaikat Hitam ( Part II-Ending)
By: Mentary @AIITHARICH





Cerpen Duet. Kamu dapat menemukan Part I pada link di bawah ini :
http://wanitapenyukasenja.blogspot.com/2013/10/malaikat-hitam.html




“Happy birthday Aldrian..” Kulafalkan lagi kata yang seharusnya mengukir bahagia bukan mengendap duka seperti saat ini. Matamu masih merah seperti biasa dengan raut wajah lelah, cemas, dan takut kehilangan yang jelas sangat aku mengerti. Kaus navy blue polos dengan sablonan sederhana yang kau kenakan membuat terlihat segar hari ini. Mungkin suster yang lain tahu ini hari yang penting bagimu seperti yang kerap ku ocehkan pada mereka perihal kotak kenangan dan impian kita. Alis tebalmu selaras dengan rambut hitam berkilau tertata rapi menghiasi wajah tampan dengan rahang kuat itu. Kamu tersenyum menunngu aku mendekat. Kau adalah Aldrianku saat ini, Aldrian tanpa barang-barang terkutuk yang kerap kau butuhkan melebihki aku. Iya, aku cemburu. Aku mendekat dan kau begitu erat mendekapku seperti aku adalah buih yang akan hilang bersama pusara laut. Itu tidak mungkin sayang, kau adalah malaikat hitam yang membuat aku pekat bersamamu. Kamu adalah malaikat yang mengenalkanku bahagia sebelum sampai menghancurkannya dengan hitam obat-obat terlarang yang terkutuk itu. Tapi bukankah hitam itu seperti bayangan? Akan ada dimanapun kita berada.
Kemudian kami duduk di pinggir ranjang panti yangbegitu sederhana. Ranjang yang biasa menyiksaku dengan baying-bayang kau meronta, mengais, mengisak, memohon, dan segala hal terkutuk untuk barang-barang yang lebih terkutuk iyu. Iya, kau membutuhkannya melebihi membutuhkan aku, sial.
“Aku merindukanmu Cassandra,” ujarnya lembut sambil menyenderkan kepalanya pada leherku kemudian sesekali menghirup aroma tubuhku membuat geli. Semua seperti biasa yang dia lakukan.
“Aku selalu ada Al, hanya saja kadang keberadan aku tidak lebih penting dari barang itu sehingga kau tidak menyadari keberadaanku.”
Raut wajah Aldrian sungguh menyesal, dia seperti merasakan sakit yang teramat. Aku tahu dia begitu mencintaiku, akupun tidak bermaksud menyakitinya tapi ini benar-benar kenyataan yang terjadi bagaimana dia mengabaikanku hanya karena barang-barang terkutuk itu. Lidah memang kadang menusuk dan dapat membuat hati begitu terpuruk, perkara itu kebohongan, hinaan, atau bahkan kenyataan. Aku genggam tangannya yang sudah mulai meringkih, putih lembut jelas masih terasa namun begitu dingin padahal basah peluh terlihat. Tapi aromanya masih jelas tak pernah berubah, wangi menthol dengan rempah-rempah yang begitu liar namun menenangkan. Ini Aldrianku yang sekarang. Kita tidak akan pernah tahu kapan hidup akan mempertemukan kita pada bidak-bidak yang siap mengacau, memporak-porandakan hidup kita sampai mengalami hal tak terduga seperti saat ini. Dering telepon gengamku berbunyi, terus berbunyi tapi aku mencoba mengabaikan. Aldrian menatapnya dan tak bingung dengan apa yang aku upayakan: menganggap tidak ada panggilan. Bukankah ini adalah waktu yang berarti, untuk apa harus ada yang mengganggu? Seandainya ini dapat abadi.

*

Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan bau-bau obatan yang begitu khas menyengat namun berbeda, tidak sekuat rumah sakit ketergantungan obat tempatku, bau disini kerap sesekali tercium aroma yang membuat mual. Orang berjas dan bertopi putih berlalu lalang, adapula yang mendorong pasien di kursi roda yang heboh menari dan meracau tak jelas. Aku masih menyusuri lorong menuju kamar seseorang sambil membawa bunga. Langkahku terhenti ketika sosok tak aku kenal mengagetiku dan melarangku berjalan kembali, dia beralasan aka nada banyak polisi-polisi picik yang siap menembakku, aku tertawa. Semua aku anggap lelucon, untuk apa mendengarkan orang-orang yang akalnya sudah tidak berfungsi. Gila, tentu. Aku tetap berjalan sambil melihat aktor-aktor yang diperkosa kehidupan. Mereka yang berlagak seperti politisi, dokter, penyanyi atau seseorang penuh tragedi. Kadang aku berfikir rumah sakit jiwa adalah rangkuman dari drama-drama kehidupan, jadi jika seseorang penuh drama bukankah sebaiknya di tempatkan pula di sini.
Aku sampai. Perempuan itu hanya duduk di lantai meringkuk ketakutan semeentara ada ranjang yang seharusnya dapat membuat ia terlelap dengan nyaman. Itulah manusia dengan kebahagiaan yang tidak dapat iya nikmati karena ulahnya sendiri. “Tante…” Dia menghiraukanku tak bergemik sama sekali. Tentu saja, akalnya sudah lama dirusak kehidupan.
“Aldrian ulang tahun tante…” –belum sempat aku menyelesaikan kalimat, perempuan itu menoleh. Wajahnya terlihat penuh duka dan begitu menua tapi ada hal lain yang terbaca. Dia tersenyum seperti orang yang mengerti. Dia merespon begitu aku menyebut nama orang yang begitu dia cintai, orang yang sudah lama tidak menemuinya. “Dia merindukanmu tante, sama sepertimu. AKu hanya ingin merekam sosok tante untuk hadiah ulang tahunnya. Mengobati rindunya.” Aku menjelaskan sambil mengeluarkan handycam agar dia mengerti, entahlah. Sejauh ini dia merespon semuanya.
Aku merekam beberapa kata dariku kemudian mengalihkan gambar pada mamah tercinta dari orang yang kucinta. Rekaman itu aku simpan dalam disk yang dibungkus rapi bertuliskan ‘malaikat hitam’

*

“Angkat dulu telepon itu sayang, mungkin penting.”
Aku menghiraukannya. Aku hanya ingin bersama dia saat ini tanpa ada gangguan. Persetan dengan alunan nada dering yang masih terus mengganggu sementara matuku sudah jelas mulai berembun seperti jendela rumah di pagi hari atau dingin dikarenakan hujan akan turun menetes dari kelopak mataku.
“Aku akan berubah. Maafkan aku menyakitimu dengan obat-obatan itu. Aku mencintaimu Cassandra.”
Lega mendengarnya, tapi ada kata yang tercekat pada kerongkonganku.KAta tentang rasa yang selama ini kita hiraukan namun harus diakhiri. Aku masih menatap wajah tampan itu, begitu juga sebaliknya. Kemudian aku teringat akan sesuatu, kejutan manis untuk seseorang yang berharga. Sebuah disk yang beberapa hari lalu ku rekam untuk mengobati rindunya selama enam bulan dia bertingkah seperti orang yang tidak aku kenal walaupun wujudnya masih sama, malaikatku.
Tak ada. Aku memeriksa seluruh ruang pada tas kesayanganku ini tapi tak menemukan disk itu. Yang aku temukan hanya alunan nada dering telepon gengamku yang masih terus berbunyi. Ku tatap layar itu, dari seseorang yang aku kenal betul. Aku mengangkatnya sambil menepi ke pojok ruangan yang tidak luput sedikitpun sosokku masih dari bola mata Aldrian. Suaraku mungkin terlalu kecil berbicara di telepon padahal Aldrian masih mengawasi begitu tajam dengan mata sendu.
Tidak lebih dari lima menit ada orang lain hadir di antara kami. Seorang pria membawa disk yang daritadi aku cari. Pria itu bertatapan dengan Aldrian kemudian tersenyum sementara ALdrian hanya dengan tatapan ragu, sendu, dan benci yang kalah oleh rasa kecewa. Ini tidak benar, aku tidak sanggup dengan ini semua. Pria itu melihat Kristal yang mulai turun membasahi pipiku, dia membawaku pergi meninggalkan Aldrian dan disk itu.

*

‘Malaikat Hitam” itu yang tertulis pada Disk itu dengan sebotol parfum yang biasa Aldrian pakai, parfum kesukaan Cassandra yang membalut tubuh Aldrian. Dia putar disk itu pada sebuah DVD kecil dalam ruangan yang selama enam bulan ini merenggut kebebasannya, ruangan putih yang satu minggu lagi dia tinggalkan.
“Hai sayang.. Ini aku Cassandra. Happy birthday. Seneng banget selama ini bisa kenal kamu walaupun kamu sempet menjelma menjadi malaikat hitam yang tidak aku kenal. Tapi aku masih nemenin kamu. Sekarang udah lewat enam bulan dan minggu depan kamu udah keluar. Yeayy semangat! Oh iya ini mamah kamu…” Handycam itu mengarah mada sosok yang begitu Aldrian rindukan –mamahnya. “Dan terakhir aku udah gak bisa sama kamu lagi, kamu sendiri udah tau kan tentang aku sama Revan? Karna sekarang kamu udah bisa sendiri mungkin ini terakhir kalinya. Kamu udah sembuh, kejar kebahagiaan kamu dan jangan balik lagi ke barang terlarang itu. Aku sama Revan juga bakal bahagia dengan cara sendiri.”

Bukan aku malaikat hitamnya Cassandra, tapi kamu. Kamu memberi aku kebahagiaan, mengajari aku menghadapi kehidupan. Kamu seperti malaikat sampai pada akhirnya kamu menghepaskan ku begitu saja. Malaikat hitam, kamu tidak pernah benar-benar putih, hanya aku yang berharap tidak ada lagi hitam dalam kehidupan sayangnya manusia tidak pernah hilang dari keluputan. Tapi bukankah bayangan itu hitam? Iya seperti kenangan kita yang terus membayangi aku.

Sabtu, 12 Oktober 2013

Berita Duka; Perempuan berhati mendung, berwajah matahari.

Cerpen Berita Duka; Perempuan berhati mendung, berajah matahari. Penipuan yang sempurna bukan ? :")
By: Mentary @AIITHARICH 



Berita Duka…
Telah meninggal sebuah harapan dan janji dini hari ini ditikam oleh sang ingkar.
Kemudian dimakamkan dalam kotak kenangan.

Aku mendengar berita itu dari balik jendela tempat biasa menatap perempuan itu. Dari kelopak matanya menetes Kristal-kristal yang begitu indah yang selama ini aku nikmati. Hatinya yang selalu mendung kini hujan dengan deras. Perempuan cantik berwajah matahari  itu menatap nanar kebalik jendela, dia duduk tepat di sisi tangga rumahnya tempat pijakan yang agak luas dari bagian tangga lainnya. Aku masih menatapnya dari sini, aku paling suka ketika dia di sana karna tempat itu bagian paling leluasa meniikmati betapa cantiknya wajah mendung itu. Hanya saja sialnya dia tak pernah menyadari keberadaanku atau lebih tepatnya pura-pura tak menyadari, mungkin karena aku bukan hal yang menarik atau penting untuk menjadi bagian hidupnya. Aku hanya seseuatu dalam hidupnya sementara dia adalah sepenuhnya dalam suatu hidupku.
Perempuan berhati mendung itu hanya pernah sekali dalam hidupnya menyapa dan membuatku mengering bersama angin-angin yang mempermainkan rambut tebal itu sehingga aku dapat menikmati dengan jelas lekuk kecantikannya pada wajah itu. Selebihnya dia tak pernah memperdulikanku kecuali pada hari ini. Hari dimana perempuan berhati mendung itu menyerahkan dirinya untuk aku sepenuhnya. Saat itu hati mendungnya tertutup oleh wajah matahari itu itu merayuku dan tentu saja aku luluh dan segera ingin mencumbu.
“Dana, hanya kau yang selama ini memperdulikanku. Aku tahu kau selalu menatapku dari balik jendela. Walaupun terdiam tapi kau selalu mendengarkan keluh kesahku dan mengerti penderitaanku, hanya saja kau tak pernah mau merebutku darinya dan enggan untuk memiliki ku sepenuhnya.”
Aku terdiam dengan hati riang, raanya ingin sekali aku memeluknya dan menjadikan dia milikku dalam waktu semalam. Aku tahu itu hina tapi dia benar-benar membangkitkan hasratku untuk memeluknya dan membuat wajah matahari it uterus bersinar tanpa hati yang mendung. Perempuan berhati mendung itu tidak lagi menatap di balik jendela, dia berada di depanku. Habis sudah aku tergoda ketika dia mendekat dan bersender pada tubuhku, perlahan aku menjamah wajahnya dengan lembut dan lekuk-lekuk tubuhnya itu tidak ketinggalan wangi harum shampoo di rambutnya yang selama ini begitu ingin aku hirup. Dia membiarkan tangan-tanganku gugur secara perlahan menikmati tubuhnya. Sesekali dia menghela nafas yang begitu berat, aku tahu masih ada pria itu dalam pikirannya, pria sipembuat berita duka. Aku rasanya ingin marah tapi dengan segera dia menciumku, dia mencium aroma tubuhku sambil sesekali menghembuskan nafas beratnya itu. Rasanyageli, menggelitik sampai ke pikiran terliar yang pernah ada.
Kemudian dia menatap aku lagi, wajahnya masih seperti matahari yang bersinal walaupun kini bulan dan bintang menguasai langit, namun hati mendung itu terlihat jelas dalam matanya. Gantian dia membelai wajahku lembut kemudian tersenyum seperti malaikat yang siap ke surga. “Kau mencintaiku bukan?” Tanyanya.
Lagi-lagi aku terdiam begitu pengecut. Dia tahu apa yang aku tahu tentang persaanku padanya. “Kau tidak perlu menahan diri lagi Dana, hubunganku dan pria itu sudah berakhir. Aku ingin menjadi milikmu. Aku juga mencintaimu, maukah kau menjadikan aku di sisimu selamanya?” Tanyanya lagi karna aku hanya terdiam.
Tanpa ragu aku mengangguk lembut bersama angin pada malam itu. Kemudian dia mengeluarkan sebuah tali tambang dari plastic yang dia bawa. Air matanya kembali tumbah menghancurkan tameng pertahanannya. Dengan kalap perempuan berhati mendung itu menjerat badanku dengan tali tambang. Sesak, dia mengikatku begitu kuat. Aku mencintainya tapi ini terlalu gila. Kemudian dia melakukan hal-hal yang tak pernah aku bayangkan. Perempuan berhati mendung itu membuat aku menjadi miliknya begitu juga sebaliknya.

*

“Hentikan Afka ini sudah keterlaluan! Berapa kali aku harus bertahan dengan air mata yang selalu kau ciptakan!”
“Sudah aku bilang hubungan kita tidak dapat dipertahankan Tisha.” Afka berlari menuruni tangga rumah Latisha dengan terburu-buru diikuti Latisha yang mengejar dengan isak yang tak tertahankan.
“Wanita keberapa yang suah kau tiduri kali ini? Bagaimana dengan janji-janji kau dulu? Impian kita bersama? Harapan-harapan? Kau meninggalkannya begitu saja.” Latisha berhenti di depa LCD TV rumahnya yang sepi setelah kepergian orang tuanya pada sebuah kecelakaan.
“Percuma aku sudah tidak punya perasaan lagi padamu, lupakan saja.” Afka mendekat dengan suara yang jmelebut sambil membelai wjah cantik Latisha yang penuh duka. “Kau akan bertemu dengan kebahagiaan yang tepat, aku hanya persinggahan dalam kehidupanmu begitu juga sebaliknya.”
“Tidak Afka, aku sendirian dan hanya kau tempat bergantung. Kau lebih dari sekedar kekasih tapi juga keluarga, darimu aku mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.” Latisha memeluk Afka dengan erat.
Afka membalas pelukan Latisha. Selalu begitu, Latisha membuat Jiwa pria Afka bangun. Latisha memang benar perempuan yang membuat pria bertekuk lutut di depannya. “AKu jatuh cinta pada gadis lain bukan sekedar tentang nafsu.”
Latisha murka saat itu. Dia melepas pelukannya juga tangan Afka yang masih memeluknya. “Lalu bagaimana dengan aku? Kau sudah mendapatkan hartaku! Kehormatanku!”
“Tapi itu kita lakukan atas suka sama suka.”
Latisha  mengambil pisau yang berada diantara buah-buah di tengah meja depan LCD TV. “Tapi aku memberikan itu karna kita saling mencinta karna kau berjanji dengan semua harapan itu! Mimpi itu!” Latisha dengan kalap menusuk Afka berkali-kali sampai pria itu terdiam, selamanya. Dia tak pernah bisa bicara lagi untuk meninggalkan Latisha. Mulutnya terkunci dengan ingkar yang dia torehkan.
Aku seperti biasa melihatnya dari balik jendela. Melihat semua kejadian yang tidak seharusnya dilihat dan Latisha menyadari aku melihat dengan jelas bagaimana dia menjadikan Afka-Pria-Yang-Dicintai-nya menjadi milik dia selamanya.
Setelah mencium bibir Afka Latisha menyeka darah yang ada pada dirinya kemudian menatapku sambil mendekat. Dia menyapaku, sungguh aku bahagia, mungkin gila. AKu berjanji akan merahasiakan ini dari siapapun. Lagipula Afka memang pantas mendapatkannya dia selalu membuat Latisha dengan hati mendung itu.

*

Komplek rumah Latisha riuh sekali terungkap kematian Afka yang ditemukan dalam rumahnya dengan bau begitu busuk. Belum lagi mayat Latisha yang tergantung di pohon halamannya sendiri. Warga tidak pernah menyangka perempuan yang begitu ramah pada tetangga walaupun kesepian membunuh kekasihnya dan dirinya sendiri.  Banyak spekulasi tidak jelas seputar kasus ini kearah kejiwaan Latisha yang terganggu.

Berita Duka…
Telah tewas bunuh diri seorang perempuan bernama Latisha dengan gantung diri setelah membunuh kekasihnya yang bernama A.

Aku hanya terdiam tidak berani sedikitpun mengeluarkan kata. Aku berjanji selalu menjaga rahasia apa yang aku lihat dari balik jendela itu.  Seandainya aku punya keberanian untuk mencegahnya atau setidaknya aku punya kekuatan untuk melakukannya. Mungkin aku pula yang salah karna aku perempuan yang paling aku cintai itu pergi selamanya menuju surga dimana hatinya tak akan pernah mendung, hanya aka nada wajah matahari. Apapun itu aku masih menyesal atas semuanya. Jika aku punya kesempatan untuk meminta aku tak ingin semua malam itu terjadi, aku tidak ingin menjadi diriku. Aku tidak ingin menjadi Dana, pohon Cendana yang hanya dia ketika melihat wanita yang dicintai bunuh diri pada tubuhnya sendiri. Seandainya aku menjadi manusia.

Berita Duka…
Pohon Cendana itu mulai menua, tangan-tangan itu mongering dan berguguran bersama angin.
Warga setempatpun memutuskan untuk menebangnya.


*




Figura Kenangan


Cerpen Figura Kenangan by: Mentary @AIITHARICH









Berkemas rasanya tak pernah sesakit ini begitupun langkah dengan beban-beban kenangan yang membingungkan. Malam masih remaja dengan lampu-lampu yang mulai temarang menggantikan senja satu persatu bersama lalu lalang. Masih ada banyak detik yang dapat dihabiskan untuk salam pada mereka yang pernah dipertemukan Tuhan. Perpisahan tak pernah mudah selalu ada rumit yang menempel seperti parasit. Bertemu mereka sama saja bunuh diri, langkahku akan mati dan bertahan tetap di sini. Begitulah hidup membawa kita seperti menaiki roller coster, akan selalu ada jeritan entah kesenangan atau memaki pilihan seperti aku saat ini yang mengutuki perpisahan. Aku menatap figura foto kami berempat penuh tawa dan senyum kemudian memasukinya ke dalam koper penuh pilihan.  Aku masuki kembali barang-barang penting lain ke dalam koper, tidak semuanya ku bawa karna aku tahu hanya akan membuat kenangan semakin menghatuiku. Pandangan ku terkunci dalam figura foto berikutnya, ada dua pasang manusia di bawah pohon taman sekolah bergaya penuh bahagia, wanita membawa buku kesayangannya dan pria memangku manis gitar yang dia pakai untuk mengungkapkan rasa yang tak selama ini tertahan pada sang wanita. Tak ada air mata ataupun senyuman, aku hanya menjerit dalam hati.
Semua perpisahan pasti akan ada perjalanan berikutnya dengan hal-hal yang mendewasakan sampai kita lelah dan kembali ke pulang. Definisi pulang begitu subjektif sulit dapat terdeskripsi, tapi pelukan seseorang yang menanti kita dengan wajah seolah berkata ‘akhirnya kita kembali dipertemukahn’ dengan penuh rindu itu adalah pulang menurutku. Mereka adalah perjalanan yang mendewasakanku juga pulang yang aku harapkan namun terhenti pada perpisahan dan segala ketidak-mungkinan.
Sangat jelas dalam otakku bagaimana semua seperti berotasi terbalik ke awal manisnya kita saling bertautan. Siang itu dengan gerusuk  yang selalu kuocehi Reuben dan Mikha berlari menyusuri koridor sekolah sambil meneriaki namaku berulang kali yang  seharusnya tak perlu dilakukan karna dengan jelas telingaku masih baik mendengar dan mataku dapat melihat dua sosok kakak beradik dengan wajah blasteran jerman-jepang-jawa- batak itu. Sungguh keanekaragaman suku yang ada pada mereka sehingga tak dapat dipungkiri tidak sedikit yang menggilai mereka berdua dengan sosok yang selalu ditemani gitar-gitar gagah itu kecuali aku dan Namira, gadis yang entah bagaimana sudah duduk di sampingku dengan handycam andalannya bernama kwuk. Nama lucu untuk bahan ejekan kami.
Aku menikmati keberadaan mereka yang menjelma menjadi sosok candu kebahagiaanku.  Kami berbagi apa saja yang kami punya, suka, duka, tawa, ataupun resah adalah konsumsi yang lezat ketika kami kecap bersama. Kami sering merebahkan malas pada sofa kenyamanan lengan masing-masing dalam kehangatan secangkir latte bersama tawa renyah yang membuat perut kenyang akan kebersamaan. Satu yang aku harap dari semua ini: Persahabatan yang (semoga) selamanya.
Belum sempurna semua itu tanpa seseorang yang aku namakan si pembuat mimpi,. Dia adalah senior seperti kebanyakan yang terlihat memukau dengan gayanya dan juga jabatan ketua osis yang membuat dia lebih sekedar sosok yang sering aku baca dalam novel tapi lebih dari apa yang selalu aku tulis dalam lembar-lembar cerita yang kerap diterbitkan dalam majalah-majalah yang memuat berbagai cerpen, iya dia adalah apa yang sering aku tulis. Karna aku mengingat melalui tulisa, mengabadikan segala melalui tulisan.
“Kiandra, Ka Bagus tuh,” ujar Namira yang segera mengarahkan lensa-kwuk-nya padaku, mengabadikan ekspresi gugup dan salah tingkah dan pipi memerah ku yang pasti selalu terlihat ketika keadaan mempertemukanku berulang kali dengan Ka Bagus.
Sepersekian detik Ka Bagus lewat begitu saja dan di ujung koridor ada seorang wanita cantik yang siap mengapit lengan yang seandainya menjadi milikku. Aku tak pernah membenci wanita itu, aku hanya iri dengan jutaan kasih sayang yang dia terima dari Ka Bagus.

Setelahnya Reuben Kembali membuat ricuh, dia menirukan mimik wajahku saat menatap Ka Bagus dengan malu-malu yang dilebih-lebihkan. Ejekan seperti kopi, terasa pahit namun manis. Aku tidak jengkel malahan menikmati saat bersama seperti ini dan sudahn ya aku seperti biasa mencari pembelaan dari Mikha yang pasti membelaku sementara Reuben dan Namira akan bersekongkol meledekku. Kami seperti dua kubu yang berseteru bersama tawa.

***

Aku takut harus melakoni ‘Cinta tak harus dimiliki” seperti yang tertulis di syair lagu yang selalu aku mainkan atau terlihat di layar kaca. Tapi banyak hal yang harus dipertahankan dalam hidup termasuk cinta yang tetahan karna alasan persahabatan. Deru yang terdengar karna aliran darah yang memompa begitu cepat pada jantungnya terdengar gila dalam pikiran yang memaksa aku bertindak. Sosok itu tepat di bawah pohon duduk manis dengan kebiasaannya dan buku-buku yang selalu dia baca atau diary manis berisi banyak hal tentang cinta yang dia tulis, yang-aku-tahu-bukan-tentang-aku. Tulisan-tulisan tentang si pencipta mimpi yang selama ini dia puja. Perlahan aku mendekat sambil menenteng gitar kesayanganku.
Dia menatapku lalu tersenyum menyapu rumput sampingnya dengan tangan lembut itu lalu mempersilahkan duduk. Aku duduk dan dia kembali menulis, kemudian aku memainkan beberapa lagu sampai dia tertarik lalu berencana menuliskan sesuatu untukku. Iya untukku bukan untuk Bagus si pencipta mimpi itu. Sungguh bodoh aku langsung angkuh dan merasa adai lebih dari kesempatan bersamanya tapi juga sepenuhnya memilikinya apalagi dengan tawa renyah yang kembali dia sunggingkan.
“Aku cinta kamu Kiandra..” Tuturku lembut sambil menatap bola mata coklat yang juga ada dalam tatapanku. Aku tidak hanya melihat bayangku di sana tapi juga kekalutan yang membutuhkan pelukan. Aku tak mengerti apa yang terjadi, dia seperti memaksaku tenggelam dalam tatapan yang cukup membuatku gila dalam ruang-ruang retina yang membuatku candu. Apapun itu aku tak suka jatuh kecuali dalam cintamu, aku tak suka lemah kecuali dalam pelukanmu, dan  aku tak suka tenggelam kecuali dalam tatapanmu .
“Aku juga sepertinya…” Ujarnya lirih dengan nada menggantung yang tak dilanjutkan membuat tidak seperti jawaban malah lebih ke pendapat yang membutuhkan pembenaran dan pembelaan, tapi bukankah selama ini  aku selalu membelanya dari ejekan yang dia nikmati? Apapun itu aku mencintainya.
Namira dengan wajah penuh air mata berdiri di depan kami sambil membawa handycam yang ternyata sedari tadi dia arahkan untuk merekam kami diam-diam. Kristal bening menetes dari kelopak matanya. Aku tidak mengerti dia merasa bahagia karna kedua sahabatnya bertautan atau dia takut karna cinta persahabatan akan berantakan. Tapi rasanya bukan keduanya.
“Selamat ya Mikha-Kiandra…” Suara Namira hampir tak terdengak kalau saja Reuben tidak menguping diam-diam diujung sana sambil menggendong gitarnya.

***

Tepat pukul jam delapan pagi saat ayam sudah lelah berkokok nyaring akupun terbangun masih dalam posisi  koper di depanku dan segala barang-barang yang penting di dalamnya. Semalaman aku tertidur di lantai, menyedihkan sebegitu rindunya aku pada semua kebersamaan itu.
“Ayo sayang kita harus segera menuju bandara,”katanya lembut. Aku tersenyum lalu bangkit dan masuk ke dalam mobil tanpa mandi sedikitpun. Aku tahu ini sudah telat.
Sampai pada segala hal yang tidak dapat aku cegah lagi, perpisahan . Inilah hidup kita akan mengalami pertemuan yang telah direncanakan Tuhan dan perpisahan yang tak pernah terpikirkan.  Aku menatap kaca mobil yang melewati sekolah kami dulu sekali, tempat apa yang disebut kebersamaaan lalu melewati jalan-jalan yang dipenuhi pekerja kantoran memburu waktu mengais rejeki di ibukota yang keras ini. Sebuah tangan menggenggamku erat dan akupun melirik, dia tersenyum meyakinkan semua akan baik-baik saja dan aku yakin itu. Aku mencintai semua yang dia katakan. Dia adalah Pencipta mimpi pada nyataku.
Bandara seperti biasa ramai dengan berbagai wajah asing tapi tidak dengan hatiku yang sepi. Mungkin memang seseorang telah menggenapi dan melengkapi hariku tapi kehilangan bukankah selalu terjadi saat perpisahan? Semua masih asing sampai aku menemukan dua sosok yang tak pernah asing dalam bayanganku.
Mereka berdua memelukku hingga aku rasa hampir remuk dan melumer bersama tangis yang telah kami tumpahkan saat ini.
“Nanti aku bakal ke sana nemuin kalian berdua. Bagaimanapun kita tetep sahabatan. Lupain ego yang bertahun-tahun kita pertahankan sampai ngerusak semuanya,” ucap Namira sambil mengusap air mata pada pipinya.
Aku belum dapat menjawab masih menangis sampai si pencipta mimpiku membelai lembut rambutku member ketenangan. “Iya pasti, kalian berdua jaga diri ya,” kataku dengan nada tidak karuan karna diselingi tangis.
Dua pria di sampingku saling bertatapan laulu tesenyum dan bersalaman. “ Maaf gue emang bego banget salah ngerebut begitu aja padahal gue tau sebelum gue nembak Kiandra lo sama dia dan keliatan lo sayang banget,” kata Mikha.
Reuben tersenyum. “Gak ada siapa yang ngerebut siapa, hidup itu seperti papan catur, ada putih ada hitam dan penuh dengan usaha, kita bertarung untuk menjadi pemenang.”
Aku dan Namira menatap mereka berdua, kami seperti kembali pada masa lalu dengan seragam putih abu-abu yang sudah lama ditanggalkan. Pikiran menjelma seperti pasar dengan bising yang begitu banyak ingin dikeluarkan tapi tertahan, hanya air mata yang dapat menggambarkan.
“Kalau gak ada figura foto itu mungkin kita gak akan pernah kayak gini. Kita bakal terus membohongi hati masing-masing.” Ujar Namira.
Suara  pusat informasi yang mengabarkan bahwa pesawat kami akan flight pun terdengar. Aku pamit dan pergi berama suamiku, Reuben ke tempat  baru kami. Reuben merangkulku masuk ke dalam menuju pesawat Namira dan Mikha menatap penuh haru sambil tangan mereka bertautan dengan cincin pertunangan yang mereka kenakan.
Persahabatan adalah hadiah yang diberikan pada kita sendiri untuk diri kita sendiri dan kebahagiaan tidak dapat dihalangi oleh jarak ataupun waktu.Iya begitulah hidup kita tak akan pernah tau kejutan-kejutan di dalamnya dan ending apa yang kita alami.
Aku mencintai kalian dan persahabatan kita terutama masa depanku yang sekarang bersama, Reuben.

***

“Kiandra aku punya lagu baru nih.”
“Oh ya? Tentang apa?”
“Tentang dua sahabat yang saling sayang tapi gak menyadarinya,”jelas aku dengan senyum yang dibuat-buat menutupi perasaannya agar tak tertangkap Kiandra.
Kita bernyanyi bersama dengan petikan gitar. Sungguh Aku ingin mengutarakan semuanya tapi takut lebih dominan saat ini. Bukan, bukan aku pengecut tapi aku hanya tak ingin merusak segalanya.
Entah bagaimana ceritanya Kiandra mengeluarkan kamera lomo, jarang sekali dia bawa tapi dia bilang ini khusus , Kiandra ingin menyimpan foto kami berdua. Dia memberi aku satu lembar foto dan satu lagi dia simpan. Aku merasa special, aku merasa memiliki kesempatan.
Aku izin ke toilet sebentar untuk menenangkan diri, mengatur nafas yang memburu dan degup yang hamper membuatku mati. Aku bertekat mengatakan perasaanku. Saat aku kembali  kecewa malah datang menghampiriku, Pandanganku terkunci pada sosok Mikha yang duduk tepat di tempat aku tadi-bersama Kiandra. Dengan yakin Mikha mengutarakan perasaannya. Kiandra mengiyakan,saat itu hati ku hancur. Aku terpaku diujung taman dengan foto yang masih aku pegang .


***