Minggu, 27 Oktober 2013

Malaikat Hitam

Cerpen Malaikat Hitam ( Part II-Ending)
By: Mentary @AIITHARICH





Cerpen Duet. Kamu dapat menemukan Part I pada link di bawah ini :
http://wanitapenyukasenja.blogspot.com/2013/10/malaikat-hitam.html




“Happy birthday Aldrian..” Kulafalkan lagi kata yang seharusnya mengukir bahagia bukan mengendap duka seperti saat ini. Matamu masih merah seperti biasa dengan raut wajah lelah, cemas, dan takut kehilangan yang jelas sangat aku mengerti. Kaus navy blue polos dengan sablonan sederhana yang kau kenakan membuat terlihat segar hari ini. Mungkin suster yang lain tahu ini hari yang penting bagimu seperti yang kerap ku ocehkan pada mereka perihal kotak kenangan dan impian kita. Alis tebalmu selaras dengan rambut hitam berkilau tertata rapi menghiasi wajah tampan dengan rahang kuat itu. Kamu tersenyum menunngu aku mendekat. Kau adalah Aldrianku saat ini, Aldrian tanpa barang-barang terkutuk yang kerap kau butuhkan melebihki aku. Iya, aku cemburu. Aku mendekat dan kau begitu erat mendekapku seperti aku adalah buih yang akan hilang bersama pusara laut. Itu tidak mungkin sayang, kau adalah malaikat hitam yang membuat aku pekat bersamamu. Kamu adalah malaikat yang mengenalkanku bahagia sebelum sampai menghancurkannya dengan hitam obat-obat terlarang yang terkutuk itu. Tapi bukankah hitam itu seperti bayangan? Akan ada dimanapun kita berada.
Kemudian kami duduk di pinggir ranjang panti yangbegitu sederhana. Ranjang yang biasa menyiksaku dengan baying-bayang kau meronta, mengais, mengisak, memohon, dan segala hal terkutuk untuk barang-barang yang lebih terkutuk iyu. Iya, kau membutuhkannya melebihi membutuhkan aku, sial.
“Aku merindukanmu Cassandra,” ujarnya lembut sambil menyenderkan kepalanya pada leherku kemudian sesekali menghirup aroma tubuhku membuat geli. Semua seperti biasa yang dia lakukan.
“Aku selalu ada Al, hanya saja kadang keberadan aku tidak lebih penting dari barang itu sehingga kau tidak menyadari keberadaanku.”
Raut wajah Aldrian sungguh menyesal, dia seperti merasakan sakit yang teramat. Aku tahu dia begitu mencintaiku, akupun tidak bermaksud menyakitinya tapi ini benar-benar kenyataan yang terjadi bagaimana dia mengabaikanku hanya karena barang-barang terkutuk itu. Lidah memang kadang menusuk dan dapat membuat hati begitu terpuruk, perkara itu kebohongan, hinaan, atau bahkan kenyataan. Aku genggam tangannya yang sudah mulai meringkih, putih lembut jelas masih terasa namun begitu dingin padahal basah peluh terlihat. Tapi aromanya masih jelas tak pernah berubah, wangi menthol dengan rempah-rempah yang begitu liar namun menenangkan. Ini Aldrianku yang sekarang. Kita tidak akan pernah tahu kapan hidup akan mempertemukan kita pada bidak-bidak yang siap mengacau, memporak-porandakan hidup kita sampai mengalami hal tak terduga seperti saat ini. Dering telepon gengamku berbunyi, terus berbunyi tapi aku mencoba mengabaikan. Aldrian menatapnya dan tak bingung dengan apa yang aku upayakan: menganggap tidak ada panggilan. Bukankah ini adalah waktu yang berarti, untuk apa harus ada yang mengganggu? Seandainya ini dapat abadi.

*

Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan bau-bau obatan yang begitu khas menyengat namun berbeda, tidak sekuat rumah sakit ketergantungan obat tempatku, bau disini kerap sesekali tercium aroma yang membuat mual. Orang berjas dan bertopi putih berlalu lalang, adapula yang mendorong pasien di kursi roda yang heboh menari dan meracau tak jelas. Aku masih menyusuri lorong menuju kamar seseorang sambil membawa bunga. Langkahku terhenti ketika sosok tak aku kenal mengagetiku dan melarangku berjalan kembali, dia beralasan aka nada banyak polisi-polisi picik yang siap menembakku, aku tertawa. Semua aku anggap lelucon, untuk apa mendengarkan orang-orang yang akalnya sudah tidak berfungsi. Gila, tentu. Aku tetap berjalan sambil melihat aktor-aktor yang diperkosa kehidupan. Mereka yang berlagak seperti politisi, dokter, penyanyi atau seseorang penuh tragedi. Kadang aku berfikir rumah sakit jiwa adalah rangkuman dari drama-drama kehidupan, jadi jika seseorang penuh drama bukankah sebaiknya di tempatkan pula di sini.
Aku sampai. Perempuan itu hanya duduk di lantai meringkuk ketakutan semeentara ada ranjang yang seharusnya dapat membuat ia terlelap dengan nyaman. Itulah manusia dengan kebahagiaan yang tidak dapat iya nikmati karena ulahnya sendiri. “Tante…” Dia menghiraukanku tak bergemik sama sekali. Tentu saja, akalnya sudah lama dirusak kehidupan.
“Aldrian ulang tahun tante…” –belum sempat aku menyelesaikan kalimat, perempuan itu menoleh. Wajahnya terlihat penuh duka dan begitu menua tapi ada hal lain yang terbaca. Dia tersenyum seperti orang yang mengerti. Dia merespon begitu aku menyebut nama orang yang begitu dia cintai, orang yang sudah lama tidak menemuinya. “Dia merindukanmu tante, sama sepertimu. AKu hanya ingin merekam sosok tante untuk hadiah ulang tahunnya. Mengobati rindunya.” Aku menjelaskan sambil mengeluarkan handycam agar dia mengerti, entahlah. Sejauh ini dia merespon semuanya.
Aku merekam beberapa kata dariku kemudian mengalihkan gambar pada mamah tercinta dari orang yang kucinta. Rekaman itu aku simpan dalam disk yang dibungkus rapi bertuliskan ‘malaikat hitam’

*

“Angkat dulu telepon itu sayang, mungkin penting.”
Aku menghiraukannya. Aku hanya ingin bersama dia saat ini tanpa ada gangguan. Persetan dengan alunan nada dering yang masih terus mengganggu sementara matuku sudah jelas mulai berembun seperti jendela rumah di pagi hari atau dingin dikarenakan hujan akan turun menetes dari kelopak mataku.
“Aku akan berubah. Maafkan aku menyakitimu dengan obat-obatan itu. Aku mencintaimu Cassandra.”
Lega mendengarnya, tapi ada kata yang tercekat pada kerongkonganku.KAta tentang rasa yang selama ini kita hiraukan namun harus diakhiri. Aku masih menatap wajah tampan itu, begitu juga sebaliknya. Kemudian aku teringat akan sesuatu, kejutan manis untuk seseorang yang berharga. Sebuah disk yang beberapa hari lalu ku rekam untuk mengobati rindunya selama enam bulan dia bertingkah seperti orang yang tidak aku kenal walaupun wujudnya masih sama, malaikatku.
Tak ada. Aku memeriksa seluruh ruang pada tas kesayanganku ini tapi tak menemukan disk itu. Yang aku temukan hanya alunan nada dering telepon gengamku yang masih terus berbunyi. Ku tatap layar itu, dari seseorang yang aku kenal betul. Aku mengangkatnya sambil menepi ke pojok ruangan yang tidak luput sedikitpun sosokku masih dari bola mata Aldrian. Suaraku mungkin terlalu kecil berbicara di telepon padahal Aldrian masih mengawasi begitu tajam dengan mata sendu.
Tidak lebih dari lima menit ada orang lain hadir di antara kami. Seorang pria membawa disk yang daritadi aku cari. Pria itu bertatapan dengan Aldrian kemudian tersenyum sementara ALdrian hanya dengan tatapan ragu, sendu, dan benci yang kalah oleh rasa kecewa. Ini tidak benar, aku tidak sanggup dengan ini semua. Pria itu melihat Kristal yang mulai turun membasahi pipiku, dia membawaku pergi meninggalkan Aldrian dan disk itu.

*

‘Malaikat Hitam” itu yang tertulis pada Disk itu dengan sebotol parfum yang biasa Aldrian pakai, parfum kesukaan Cassandra yang membalut tubuh Aldrian. Dia putar disk itu pada sebuah DVD kecil dalam ruangan yang selama enam bulan ini merenggut kebebasannya, ruangan putih yang satu minggu lagi dia tinggalkan.
“Hai sayang.. Ini aku Cassandra. Happy birthday. Seneng banget selama ini bisa kenal kamu walaupun kamu sempet menjelma menjadi malaikat hitam yang tidak aku kenal. Tapi aku masih nemenin kamu. Sekarang udah lewat enam bulan dan minggu depan kamu udah keluar. Yeayy semangat! Oh iya ini mamah kamu…” Handycam itu mengarah mada sosok yang begitu Aldrian rindukan –mamahnya. “Dan terakhir aku udah gak bisa sama kamu lagi, kamu sendiri udah tau kan tentang aku sama Revan? Karna sekarang kamu udah bisa sendiri mungkin ini terakhir kalinya. Kamu udah sembuh, kejar kebahagiaan kamu dan jangan balik lagi ke barang terlarang itu. Aku sama Revan juga bakal bahagia dengan cara sendiri.”

Bukan aku malaikat hitamnya Cassandra, tapi kamu. Kamu memberi aku kebahagiaan, mengajari aku menghadapi kehidupan. Kamu seperti malaikat sampai pada akhirnya kamu menghepaskan ku begitu saja. Malaikat hitam, kamu tidak pernah benar-benar putih, hanya aku yang berharap tidak ada lagi hitam dalam kehidupan sayangnya manusia tidak pernah hilang dari keluputan. Tapi bukankah bayangan itu hitam? Iya seperti kenangan kita yang terus membayangi aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar