Cerpen Malaikat Hitam ( Part II-Ending)
By: Mentary @AIITHARICH
Cerpen Duet. Kamu dapat menemukan Part I pada link di bawah ini :
http://wanitapenyukasenja.blogspot.com/2013/10/malaikat-hitam.html
“Happy birthday Aldrian..” Kulafalkan lagi kata yang
seharusnya mengukir bahagia bukan mengendap duka seperti saat ini. Matamu masih
merah seperti biasa dengan raut wajah lelah, cemas, dan takut kehilangan yang
jelas sangat aku mengerti. Kaus navy blue polos dengan sablonan sederhana yang
kau kenakan membuat terlihat segar hari ini. Mungkin suster yang lain tahu ini
hari yang penting bagimu seperti yang kerap ku ocehkan pada mereka perihal
kotak kenangan dan impian kita. Alis tebalmu selaras dengan rambut hitam
berkilau tertata rapi menghiasi wajah tampan dengan rahang kuat itu. Kamu
tersenyum menunngu aku mendekat. Kau adalah Aldrianku saat ini, Aldrian tanpa
barang-barang terkutuk yang kerap kau butuhkan melebihki aku. Iya, aku cemburu.
Aku mendekat dan kau begitu erat mendekapku seperti aku adalah buih yang akan
hilang bersama pusara laut. Itu tidak mungkin sayang, kau adalah malaikat hitam
yang membuat aku pekat bersamamu. Kamu adalah malaikat yang mengenalkanku
bahagia sebelum sampai menghancurkannya dengan hitam obat-obat terlarang yang
terkutuk itu. Tapi bukankah hitam itu seperti bayangan? Akan ada dimanapun kita
berada.
Kemudian kami duduk di pinggir ranjang panti yangbegitu
sederhana. Ranjang yang biasa menyiksaku dengan baying-bayang kau meronta,
mengais, mengisak, memohon, dan segala hal terkutuk untuk barang-barang yang
lebih terkutuk iyu. Iya, kau membutuhkannya melebihi membutuhkan aku, sial.
“Aku merindukanmu Cassandra,” ujarnya lembut sambil
menyenderkan kepalanya pada leherku kemudian sesekali menghirup aroma tubuhku
membuat geli. Semua seperti biasa yang dia lakukan.
“Aku selalu ada Al, hanya saja kadang keberadan aku tidak
lebih penting dari barang itu sehingga kau tidak menyadari keberadaanku.”
Raut wajah Aldrian sungguh menyesal, dia seperti merasakan
sakit yang teramat. Aku tahu dia begitu mencintaiku, akupun tidak bermaksud
menyakitinya tapi ini benar-benar kenyataan yang terjadi bagaimana dia
mengabaikanku hanya karena barang-barang terkutuk itu. Lidah memang kadang menusuk
dan dapat membuat hati begitu terpuruk, perkara itu kebohongan, hinaan, atau
bahkan kenyataan. Aku genggam tangannya yang sudah mulai meringkih, putih
lembut jelas masih terasa namun begitu dingin padahal basah peluh terlihat.
Tapi aromanya masih jelas tak pernah berubah, wangi menthol dengan
rempah-rempah yang begitu liar namun menenangkan. Ini Aldrianku yang sekarang.
Kita tidak akan pernah tahu kapan hidup akan mempertemukan kita pada
bidak-bidak yang siap mengacau, memporak-porandakan hidup kita sampai mengalami
hal tak terduga seperti saat ini. Dering telepon gengamku berbunyi, terus
berbunyi tapi aku mencoba mengabaikan. Aldrian menatapnya dan tak bingung
dengan apa yang aku upayakan: menganggap tidak ada panggilan. Bukankah ini
adalah waktu yang berarti, untuk apa harus ada yang mengganggu? Seandainya ini
dapat abadi.
*
Aku menyusuri lorong rumah sakit dengan bau-bau obatan yang
begitu khas menyengat namun berbeda, tidak sekuat rumah sakit ketergantungan
obat tempatku, bau disini kerap sesekali tercium aroma yang membuat mual. Orang
berjas dan bertopi putih berlalu lalang, adapula yang mendorong pasien di kursi
roda yang heboh menari dan meracau tak jelas. Aku masih menyusuri lorong menuju
kamar seseorang sambil membawa bunga. Langkahku terhenti ketika sosok tak aku
kenal mengagetiku dan melarangku berjalan kembali, dia beralasan aka nada
banyak polisi-polisi picik yang siap menembakku, aku tertawa. Semua aku anggap
lelucon, untuk apa mendengarkan orang-orang yang akalnya sudah tidak berfungsi.
Gila, tentu. Aku tetap berjalan sambil melihat aktor-aktor yang diperkosa
kehidupan. Mereka yang berlagak seperti politisi, dokter, penyanyi atau
seseorang penuh tragedi. Kadang aku berfikir rumah sakit jiwa adalah rangkuman
dari drama-drama kehidupan, jadi jika seseorang penuh drama bukankah sebaiknya
di tempatkan pula di sini.
Aku sampai. Perempuan itu hanya duduk di lantai meringkuk
ketakutan semeentara ada ranjang yang seharusnya dapat membuat ia terlelap
dengan nyaman. Itulah manusia dengan kebahagiaan yang tidak dapat iya nikmati
karena ulahnya sendiri. “Tante…” Dia menghiraukanku tak bergemik sama sekali.
Tentu saja, akalnya sudah lama dirusak kehidupan.
“Aldrian ulang tahun tante…” –belum sempat aku menyelesaikan
kalimat, perempuan itu menoleh. Wajahnya terlihat penuh duka dan begitu menua
tapi ada hal lain yang terbaca. Dia tersenyum seperti orang yang mengerti. Dia
merespon begitu aku menyebut nama orang yang begitu dia cintai, orang yang
sudah lama tidak menemuinya. “Dia merindukanmu tante, sama sepertimu. AKu hanya
ingin merekam sosok tante untuk hadiah ulang tahunnya. Mengobati rindunya.” Aku
menjelaskan sambil mengeluarkan handycam agar dia mengerti, entahlah. Sejauh
ini dia merespon semuanya.
Aku merekam beberapa kata dariku kemudian mengalihkan gambar
pada mamah tercinta dari orang yang kucinta. Rekaman itu aku simpan dalam disk
yang dibungkus rapi bertuliskan ‘malaikat hitam’
*
“Angkat dulu telepon itu sayang, mungkin penting.”
Aku menghiraukannya. Aku hanya ingin bersama dia saat ini
tanpa ada gangguan. Persetan dengan alunan nada dering yang masih terus
mengganggu sementara matuku sudah jelas mulai berembun seperti jendela rumah di
pagi hari atau dingin dikarenakan hujan akan turun menetes dari kelopak mataku.
“Aku akan berubah. Maafkan aku menyakitimu dengan
obat-obatan itu. Aku mencintaimu Cassandra.”
Lega mendengarnya, tapi ada kata yang tercekat pada
kerongkonganku.KAta tentang rasa yang selama ini kita hiraukan namun harus
diakhiri. Aku masih menatap wajah tampan itu, begitu juga sebaliknya. Kemudian
aku teringat akan sesuatu, kejutan manis untuk seseorang yang berharga. Sebuah
disk yang beberapa hari lalu ku rekam untuk mengobati rindunya selama enam
bulan dia bertingkah seperti orang yang tidak aku kenal walaupun wujudnya masih
sama, malaikatku.
Tak ada. Aku memeriksa seluruh ruang pada tas kesayanganku
ini tapi tak menemukan disk itu. Yang aku temukan hanya alunan nada dering
telepon gengamku yang masih terus berbunyi. Ku tatap layar itu, dari seseorang
yang aku kenal betul. Aku mengangkatnya sambil menepi ke pojok ruangan yang
tidak luput sedikitpun sosokku masih dari bola mata Aldrian. Suaraku mungkin
terlalu kecil berbicara di telepon padahal Aldrian masih mengawasi begitu tajam
dengan mata sendu.
Tidak lebih dari lima menit ada orang lain hadir di antara
kami. Seorang pria membawa disk yang daritadi aku cari. Pria itu bertatapan
dengan Aldrian kemudian tersenyum sementara ALdrian hanya dengan tatapan ragu,
sendu, dan benci yang kalah oleh rasa kecewa. Ini tidak benar, aku tidak sanggup
dengan ini semua. Pria itu melihat Kristal yang mulai turun membasahi pipiku,
dia membawaku pergi meninggalkan Aldrian dan disk itu.
*
‘Malaikat Hitam” itu yang tertulis pada Disk itu dengan
sebotol parfum yang biasa Aldrian pakai, parfum kesukaan Cassandra yang
membalut tubuh Aldrian. Dia putar disk itu pada sebuah DVD kecil dalam ruangan
yang selama enam bulan ini merenggut kebebasannya, ruangan putih yang satu
minggu lagi dia tinggalkan.
“Hai sayang.. Ini aku Cassandra. Happy birthday. Seneng
banget selama ini bisa kenal kamu walaupun kamu sempet menjelma menjadi
malaikat hitam yang tidak aku kenal. Tapi aku masih nemenin kamu. Sekarang udah
lewat enam bulan dan minggu depan kamu udah keluar. Yeayy semangat! Oh iya ini
mamah kamu…” Handycam itu mengarah mada sosok yang begitu Aldrian rindukan
–mamahnya. “Dan terakhir aku udah gak bisa sama kamu lagi, kamu sendiri udah
tau kan tentang aku sama Revan? Karna sekarang kamu udah bisa sendiri mungkin
ini terakhir kalinya. Kamu udah sembuh, kejar kebahagiaan kamu dan jangan balik
lagi ke barang terlarang itu. Aku sama Revan juga bakal bahagia dengan cara
sendiri.”
Bukan aku malaikat hitamnya Cassandra, tapi kamu. Kamu
memberi aku kebahagiaan, mengajari aku menghadapi kehidupan. Kamu seperti
malaikat sampai pada akhirnya kamu menghepaskan ku begitu saja. Malaikat hitam,
kamu tidak pernah benar-benar putih, hanya aku yang berharap tidak ada lagi
hitam dalam kehidupan sayangnya manusia tidak pernah hilang dari keluputan.
Tapi bukankah bayangan itu hitam? Iya seperti kenangan kita yang terus
membayangi aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar