Minggu, 27 Oktober 2013

Perihal Gincu dan dua kartu mati

Perihal gincu dan dua kartu mati (Part I)
By: Mentary @AIITHARICH
Cerpen duet





-Kau dapat menemukan PartII- ending pada:
http://wanitapenyukasenja.blogspot.com/




Perempuan itu memoles bibirnya dengan gincu yang tidak lebih merah dari darah senggama setiap melayani pria-pria yang memberi dia dan keluarganya kehidupan. Dia memoles wajahnya yang tidak pula lebih putih dari hatinya. Bagi sebagian orang dia adalah hina tapi bagi dirinya apapun untuk keluarga. Baginya tubuhnya tak pernah sakral namun hatinya begitu dia jaga. Sementara orang lain menyakralkan tubuh mereka sementara hati penuh kebusukan. Perempuan itu menatap dua buah hatinya yang tertidur pulas. Kedua gadis yang dia cintai. Malam sudah terus mengocehi perempuan bernama Laksmi itu untuk segera berburu uang. Nyamuk kian liar menggerayangi tubuh kedua buah hatinya diatas kasur reot dengan kapuk mencuat kemana-mana, lampu petromak yang temaram dan dinding-dinding bata belum teramplas. Tembok yang begitu perih jika digesekkan ke kulit, lebih perih dari kau jatuh pada aspal dan tembok perih itu sudah pernah merobek kulit wajahnya karna perbuatan biadab suaminya si pemabuk. Mantan suami lebih tepatnya.
Perempuan itu mengambil lotion anti nyamuk dan mengolesi pada tubuh anaknya. Dia merasakan perih ketika duduk pada kemaluannya. Dia tau kanker rahim telah menyerangnya, syukur bukan HIV/AIDS pikirnya. Dia hanya tahu menghidupi buah hatinya. Bahkan dia juga tak tahu apa bahaya kanker rahim hanya dengan sekolahnya SD yang juga tidak tamat dan ditelantarkan kehidupan dengan pria yang tidak bertanggung jawab, ah sudahlah. Maka dari itu dia tidak ingin kedua buah hatinya seperti dia, dia ingin membiayai sampai lulus walaupun kadang sedih melihat dua buah hati kesayangannya harus dicaci oleh temannya karna profesi dirinya.
“Ibu mau kerja?” Kunto seorang anak berumur enam tahun bangun merasakan ada tetesan air mata pada kakinya. Iya, air mata Laksmi.
Mendengar suara itu tentu saja Rinipun ikut terbangun. “Ibu bisa tidak kerja? Beberapa jam lagi ulang tahun Rini.” Sambung gadis yang dua jam lagi sudah berumur Empat belas tahun.
Laksmi tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya, dia memeluk dua buah hatinya. “Ibu kerja dulu ya sayang. Ibu mau bayar uang sekolah kalian ,juga beli kado buat kamu Rini dan mainan baru buat Kunto.”
Dengan wajah polos dan rasa kecemasan yang membuncah setiap harinya mereka mengiyakan sambil mendoakan ibunya sebelum pergi. Mereka tahu apa yang dilakukan ibunya salah di mata manusia tapi Tuhan lebih tahu segalanya bukan? Mereka menatap nanar ibunya setiap malam-malam biasa menunggu ibunya pulang dengan harap-harap cemas ayah mereka akan datang sambil memaki-maki atau takut esok ibunya pulang tidak dengan selamat. Begitu juga Laksmi yang berharap ada pelanggan di usianya yang mulai tua juga penyakitnya, siapa lagi yang akan membayar mahal? Tapi dia tetap bertahan untuk kedua buah hatinya walau kadang takut kerap datang meninggalkan mereka sendirian di rumah.
Dia berjalan keluar rumah menuju kejamnya kehidupan yang sering dia lakoni untuk memberi surga pada buah hatinya. Tidak boleh ada sedikitpun yang menyakiti mereka. Laksmi menatap sekeliling wanita-wanita jalang yang sudah menerima pelanggan, kecuali dia. Tentu saja mereka muda-muda, setebal apapun Laksmi bersolek umur tak akan membohongi. Kado ulang tahun, mainan baru, dan bayaran sekolah. Walaupun kehidupan tidak adil namun Tuhan itu adil, dia percaya itu.
Laksmi menyusuri kedai-kedai kopi yang telah berubah menjadi tempat portitusi pada malam kini. Kendaraan umum mulai sepi berganti mobil-mobil don juan yang siap menghaburkan uang memuaskan birahi mereka. Menjijikan namun itulah sumber kehidupan Laksmi. Dia hanya melakukan ini demi kedua buah hatinya, garis bawahi itu.
“Hei wanita tua untuk apalagi kau di sini, sudah tak laku kau. Tak ada pula yang sudi memakai perempuan penyakit seperti mu.” Teriak seorang pemabuk yang dulu pernah dia layani sambil menikmati beberapa tegukan.
Semua arah melihat dia, jijik pandangan mereka. Laksmi ingin berteriak rasanya kalau merekalah yang menjijikan. Bukankah sama-sama kita mencari kehidupan di sini. Laki-laki itu masih meracau sementara Laksmi terus berjalan sekiranya mendapatkan uang untuk kado manis anak-anaknya atau bayaran sekolah yang sudah banyak menunggak. Kedua buah hatinya akan dikeluarkan bila belum juga mendapatkan uang.

#

“Buka pintunya anak manis! Ayah pulang. Apa kalian tidak merindukan ayah?”
Rini dan Kunto berpelukan ketakutan dalam rumah satu petak itu. Di depan berdiri seseorang yang seharusnya tidak lagi mereka temui dengan segenggam botol bir yang dengan leluasa dia teguk. Kunto menangis sementara Rini menenangkan padahal dalam hatinya begitu ketakutan.
“Kenapa tak mau buka? Ayah punya banyak uang, kalian butuh bukan? Ayolah Rini tak ada ibumu dia pasti sedang menjajah badannya. Ayah akan memberikanmu apapun mari layani ayah tersayangmu ini.”

Jijik mendengarnya, seperti belati menikam lalu menyayat hatinya. Ayah yang hatrusnya dia banggakan dan menjaga malah seperti binatang buas yang akan menghabisinya. Ayahnya terus menggedor-gedor pintu. Dia hanya berharap semua baik-baik saja. Dia harap Tuhan benar-benar ada untuk mereka semua.


nb: cerita ini hanya fiksi maaf jika ada yang tidak berkenan.

menerima cerpen by request tema atau judul. Ataupula cerpen duet lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar