Perihal gincu dan dua kartu mati (Part I)
By: Mentary @AIITHARICH
Cerpen duet
-Kau dapat menemukan PartII- ending pada:
http://wanitapenyukasenja.blogspot.com/
Perempuan itu memoles bibirnya dengan gincu yang tidak lebih
merah dari darah senggama setiap melayani pria-pria yang memberi dia dan
keluarganya kehidupan. Dia memoles wajahnya yang tidak pula lebih putih dari
hatinya. Bagi sebagian orang dia adalah hina tapi bagi dirinya apapun untuk
keluarga. Baginya tubuhnya tak pernah sakral namun hatinya begitu dia jaga.
Sementara orang lain menyakralkan tubuh mereka sementara hati penuh kebusukan.
Perempuan itu menatap dua buah hatinya yang tertidur pulas. Kedua gadis yang
dia cintai. Malam sudah terus mengocehi perempuan bernama Laksmi itu untuk
segera berburu uang. Nyamuk kian liar menggerayangi tubuh kedua buah hatinya
diatas kasur reot dengan kapuk mencuat kemana-mana, lampu petromak yang temaram
dan dinding-dinding bata belum teramplas. Tembok yang begitu perih jika
digesekkan ke kulit, lebih perih dari kau jatuh pada aspal dan tembok perih itu
sudah pernah merobek kulit wajahnya karna perbuatan biadab suaminya si pemabuk.
Mantan suami lebih tepatnya.
Perempuan itu mengambil lotion anti nyamuk dan mengolesi
pada tubuh anaknya. Dia merasakan perih ketika duduk pada kemaluannya. Dia tau
kanker rahim telah menyerangnya, syukur bukan HIV/AIDS pikirnya. Dia hanya tahu
menghidupi buah hatinya. Bahkan dia juga tak tahu apa bahaya kanker rahim hanya
dengan sekolahnya SD yang juga tidak tamat dan ditelantarkan kehidupan dengan
pria yang tidak bertanggung jawab, ah sudahlah. Maka dari itu dia tidak ingin
kedua buah hatinya seperti dia, dia ingin membiayai sampai lulus walaupun
kadang sedih melihat dua buah hati kesayangannya harus dicaci oleh temannya
karna profesi dirinya.
“Ibu mau kerja?” Kunto seorang anak berumur enam tahun
bangun merasakan ada tetesan air mata pada kakinya. Iya, air mata Laksmi.
Mendengar suara itu tentu saja Rinipun ikut terbangun. “Ibu
bisa tidak kerja? Beberapa jam lagi ulang tahun Rini.” Sambung gadis yang dua
jam lagi sudah berumur Empat belas tahun.
Laksmi tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya, dia
memeluk dua buah hatinya. “Ibu kerja dulu ya sayang. Ibu mau bayar uang sekolah
kalian ,juga beli kado buat kamu Rini dan mainan baru buat Kunto.”
Dengan wajah polos dan rasa kecemasan yang membuncah setiap
harinya mereka mengiyakan sambil mendoakan ibunya sebelum pergi. Mereka tahu
apa yang dilakukan ibunya salah di mata manusia tapi Tuhan lebih tahu segalanya
bukan? Mereka menatap nanar ibunya setiap malam-malam biasa menunggu ibunya
pulang dengan harap-harap cemas ayah mereka akan datang sambil memaki-maki atau
takut esok ibunya pulang tidak dengan selamat. Begitu juga Laksmi yang berharap
ada pelanggan di usianya yang mulai tua juga penyakitnya, siapa lagi yang akan
membayar mahal? Tapi dia tetap bertahan untuk kedua buah hatinya walau kadang
takut kerap datang meninggalkan mereka sendirian di rumah.
Dia berjalan keluar rumah menuju kejamnya kehidupan yang
sering dia lakoni untuk memberi surga pada buah hatinya. Tidak boleh ada
sedikitpun yang menyakiti mereka. Laksmi menatap sekeliling wanita-wanita
jalang yang sudah menerima pelanggan, kecuali dia. Tentu saja mereka muda-muda,
setebal apapun Laksmi bersolek umur tak akan membohongi. Kado ulang tahun,
mainan baru, dan bayaran sekolah. Walaupun kehidupan tidak adil namun Tuhan itu
adil, dia percaya itu.
Laksmi menyusuri kedai-kedai kopi yang telah berubah menjadi
tempat portitusi pada malam kini. Kendaraan umum mulai sepi berganti
mobil-mobil don juan yang siap menghaburkan uang memuaskan birahi mereka.
Menjijikan namun itulah sumber kehidupan Laksmi. Dia hanya melakukan ini demi
kedua buah hatinya, garis bawahi itu.
“Hei wanita tua untuk apalagi kau di sini, sudah tak laku
kau. Tak ada pula yang sudi memakai perempuan penyakit seperti mu.” Teriak
seorang pemabuk yang dulu pernah dia layani sambil menikmati beberapa tegukan.
Semua arah melihat dia, jijik pandangan mereka. Laksmi ingin
berteriak rasanya kalau merekalah yang menjijikan. Bukankah sama-sama kita
mencari kehidupan di sini. Laki-laki itu masih meracau sementara Laksmi terus
berjalan sekiranya mendapatkan uang untuk kado manis anak-anaknya atau bayaran
sekolah yang sudah banyak menunggak. Kedua buah hatinya akan dikeluarkan bila
belum juga mendapatkan uang.
#
“Buka pintunya anak manis! Ayah pulang. Apa kalian tidak
merindukan ayah?”
Rini dan Kunto berpelukan ketakutan dalam rumah satu petak
itu. Di depan berdiri seseorang yang seharusnya tidak lagi mereka temui dengan
segenggam botol bir yang dengan leluasa dia teguk. Kunto menangis sementara
Rini menenangkan padahal dalam hatinya begitu ketakutan.
“Kenapa tak mau buka? Ayah punya banyak uang, kalian butuh
bukan? Ayolah Rini tak ada ibumu dia pasti sedang menjajah badannya. Ayah akan
memberikanmu apapun mari layani ayah tersayangmu ini.”
Jijik mendengarnya, seperti belati menikam lalu menyayat
hatinya. Ayah yang hatrusnya dia banggakan dan menjaga malah seperti binatang
buas yang akan menghabisinya. Ayahnya terus menggedor-gedor pintu. Dia hanya
berharap semua baik-baik saja. Dia harap Tuhan benar-benar ada untuk mereka
semua.
nb: cerita ini hanya fiksi maaf jika ada yang tidak berkenan.
menerima cerpen by request tema atau judul. Ataupula cerpen duet lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar