Kamis, 28 November 2013

Tiga Cerita








Cerpen By Mentary @AIITHARICH


Mimpi



“Aku sayang kamu kak, aku mau kita jadian.”
“Kenapa gak bilang dari dulu?” Yama tersenyum sendu.
Mataku mendung, kaca-kaca yang membentengi retinaku layaknya akan pecah diterjang air mata. Yama memelukku dengan erat. Tidak menyakitkan, nyaman, namun ada sesak dalam hatiku.

*

“Itu foto siapa?”
Aku hanya tersenyum menatapnya sambil memasukkan kembali foto itu kedalam dompet. Tangan kekar itu mencegahnya, posisi berdirinya pun berubah menjadi membungkuk dan wajahnya begitu dekat dengan wajahku tanpa berani menoleh. Rambut curly yang tertata itu mengeluarkan aroma semerbak mint dari shampo yang biasa Yama gunakan. Aku tak bergeming sediktpun, kemudian dia mengeluarkan foto itu dari dompetku dan menatapnya.
“Dia lagi, seharusnya kau melupakannya.”
Hanya itu yang Yama ucapkan pada foto seorang gadis kecil dan temannya yang duduk berjejer dipinggir danau membelakangi arah kemera.

*

Aku menyeduh secangkir kopi hangat dengan gula secukupnya juga mengolesi Selai nutella rasa coklat untuk sarapan kita pagi ini. Yama keluar dari kamar sambil mengancingi jasnya. Aku mendekat dan memasang dasi di kerahnya, kemudian Yama mencium keningku. Rutinitas pagi yang kita alami tanpa bosan.
“Selamat pagi sayangku,” ujarnya lembut.
Dia merangkulku ke meja makan dan membukakan satu bangku mempersilahkan duduk, manis sekali. Pagi ini dengan harapan sederhana dan secangkir percakapan penuh semangat meluap pada tawa kita. Kopi dan teh yang kita minum tersa begitu hangat, Bukan perkara suhu air yang cukup tapi tentang siapa yang disamping kita dengan  kenyamanan. Iya, Yama.
Jam sudah menunjukan pukul setengah delapan pagi, wajah Yama berubah cemas, akupun menyuruhnya bergegas walau rasanya rindu ini tidak pernah mengenal kata sudah.
“Hati-hati di jalan. Pulang jangan malam-malam, aku buatin makanan kesukaan kamu nanti,”ujarku manja pada imam keluarga kecilku ini.
Yama mengecup punggung tanganku. “Iya istriku yang tercinta. Jaga rumah, jangan lupa juga jaga aku melalui doamu.”

*

“Aku sayang kamu kak, aku mau kita jadian.”
“Kenapa gak bilang dari dulu?” Yama tersenyum sendu.
Mataku mendung, kaca-kaca yang membentengi retinaku layaknya akan pecah diterjang air mata. Yama memelukku dengan erat. Tidak menyakitkan, nyaman, namun ada sesak dalam hatiku. “Seharusnya gak kayak gini jadinya, sekarang aku udah gak bisa. Kamu tau itu. Kamu juga tau sebenarnya kita saling sayang.” Air mata ku sekarang benar-benar tumpah. Semalam baru saja aku bermimpi kita menjadi sepasang suami istri. Menyeduh secangkir kopi, memakaikan dasi dan kecupan selamat pagi.
“Terlambat, kamu udah sia-siain aku begitu lama Cuma buat pria yang terlalu menyilaukan itu.” Yama tak menangis tapi aku merasakan hujan di hatinya. Semua itu hanya mimpi. Iya aku bermimpi dengan mata terbuka untuk bersamanya. Selamanya.




Gelap…


Dia bersinar seperti matahari, mengagumkan dan membuat orang disekitarnya menjadi hangat, namun menyilaukan. Aku tak dapat menatapnya, terlalu silau sampai rasanya tak dapat melihat apa-apa. Gelap.

*

Aku duduk termangu di bangku teras depan ruang osis. Sudah satu jam yang begitu membosankan, menyebalkan. Kamu keluar dari ruangan bersama pengurus osis yang lain sambil tertawa lepas memamerkan gigi putihmu yang berjejer rapi seperti iklan pepsodent. Aku suka itu. Seorang wanita yang aku tahu betul itu adalah adik kelas kita yang sekarang menjadi pengurus osis berusaha mengajakmu bicara terus-menerus. ‘Ka Reynald”-dia memanggilmu dengan suara yang dimanja-manjakan, memuakkan. Aku masih menunggu menatap kalian.
“Sayang kamu masih di sini?”
“Iyalah, kita kan memang selalu pulang bareng,”jawabku sambil memanyunkan bibir, ekspresi yang kau suka. Aku sengaja karna pasti kau akan langsung mengacak-acak rambutku dan kemudian aku mulai bermanja dalam lenganmu. Adik kelas itu memandangdengan iri dengki tergambar jelas pada guratan wajahnya. Aku menang, setidaknya beberapa menit sampai kau mengatakan hal yang memuakkan.
“Maaf tapi aku masih ada tugas beresin berkas-berkas eskul dan rapat classmate. Kamu pulang duluan ya, aku panggil taksi. Janji besok kita ngedate seharian,”jelasnya menyesal.
Aku tidak marah. Aku tahu kau ketua osis dan sibuk, tapi aku muak melihat senyum kemenangan dan meremehkan dari wajah adik kelas itu sekarang. “Gak usah Nald, aku pulang sendiri aja.” Aku mengirim pesan singkat untuk Yama, orang yang selalu ada untukku. Aku merasa bukan jarak yang menjauhkan kita tapi kesibukan kita masing-masing. Kemudian aku berlalu masuk ke mobil yang dipacu Yama.

*

“Maaf boleh minta waktu sebentar? Aku dari tim majalah sekolah mau minta biodata dan sedikit wawancara kamu sebagi ketua osis baru.”
“Emm… boleh,”komentarmu singkat dengan senyum khas pepsodent -biasa ku sebut begitu.
“Okeh guys kameranya!” perintahku. Aku menayakan beberapa hal seputar sekolah dan aktivitas kamu. Kamu menjawabnya dengan pasti, baku namun diselipi beberapa joke garing namun membuatku tertawa. Dari cara menjawab kamu memang pantas terpilih menjadi ketua osis. Aku terpukau seperti wanita-wanita lain.
“Terakhir, semua cewek-cewek di ssini pasti mau tau kamu sebenernya udah punya pacar belum?”
“Kamu.” Jawabnya pasti dengan percaya diri dan senyum terkembang.
“Apa? Maksudnya?” Aku tercekat mendengar jawabannya yang ambigu untukku.
“Aku suka kamu. Mulai sekarang kita pacaran,”ujarnya tegas dengan wajah yang tidak mungkin ditolak. Aku menjadi seseorang yang menetap dalam hati seorang pria yang berada di setiap pikiran wanita di sekolah. Pria sempurna yang melengkapi segala kekuranganku.

*

Sunyi dalam mobil kamu. Kita saling diam sama-sama memaki keadaan ini. Padahal biasanya percakapan kita dibungkus tawa. Kamu tiba-tiba menggenggam erat tanganku alih-alih mengatur gigi mobil. Aku melihat mata mu berjaca sambil tetap lurus memandang jalan. Danau mulai terlihat dan pertama kalinya aku melihat air mata jatuh di pipimu. Melihatmu terluka, aku sakit sungguh.
“Jaga diri kamu baik-baik. Maafin aku selama ini,”ujarmu sambil mencium keningku. Basah, itu karna air matamu. Aku pergi meninggalkanmu menuju Yama di sisi danau. Kamu terlalu menyilaukan Nald hingga aku melahtnya menjadi gelap. Kamu dan segala kesibukan yang kamu miliki, kini tak hadir. Aku sadar siapa yang seharusnya selalu ada.




Danau…


“Kamu ngapain sendirian di sini? Gak punya temen ya? Kasian banget!”
“Kamu sok tau banget sih! Lagian ngapain ikutan aja? Aku lagi menikmati keaindahan danau tau.Aku baru pindah kesini,”jelas seorang gadis kecil terlihat kesal.
“Sama dong! Aku juga baru pindah. Berarti kita jodoh kalau di tv sih gitu. Aku adit, kamu siapa?”
“Kika.” Kemudian adit mengambil gambar kita dengan kamera Polaroid menghadap ke danau lalu memberikannya satu padaku.

*

Aku menangis sambil tertawa di pinggir danau. Aku tertawa bukan bahagia. Bukan juga gila karna terlarut sedih. Aku menertawakan diri sendiri. Lucu bukan, bagaimana kehidupan mempermainkanku. Atau malah aku yang membuat hidup ini seperti permainan. Awalnya ada dua matahari yang menyinariku, serakah? Iya. Sekarang bahkan aku kehilangan keduanya. Manusia, tidak pernah puas dan mensyukuri apa yang dimiliki. Egoispun menghancurkan segalanya. KAdang pula manusia tidak dapat membedakan mana yang egois mana yang ingin dimengerti, aku salah satunya.
“Kamu ngapain sih sendiri mulu di sini? Gak punya temen ya? Kasian banget!”
Kamu lagi, iya kamu datang kembali di danau seperti saat dulu. Kerongkonganku seperti tercekat, ada ribuan kupu-kupu memberontak di perutku bersama debar tak menentu. Bagaimana mungkin aku berucap sementara isi kepalaku penuh tanya yang tak akan terjawab. Kamu seperti dulu, duduk di sampingku namun kini tak membawa harap melainkan kenangan yang membuncah rindu pada kepalaku. “Kanapa diam? Lupa sama aku?”
“Ng.. Gak dit.” Melupakannmu? Mustahil. Menjadikanmu kenangan adalah hal yang membahagiakan tapi jauh lebih membahagiakan adalah saat ini, kamu sosok nyata di depanku sambil perlahan menghapus buliran yang membasahi pipiku dengan jemari itu besama tenggelamnya matahari. Senja di danau.

*

Aku berpakaian seperti Lady Diana sementara kau memakai tuxedo hitam berlagak dewasa, di pinggir danau di bawah pohon yang biasa kita pakai berteduh sambil minum es tukang jualan pinggiran sekolah yang selalu dilarang mamahmu tapi kau tetap melakukannya.
Sore itu hujan turun lebat, kita tidak pernah boleh keluar saat mendung tapi sore ini, kita berdua diam-diam bersembunyi untuk mengubur ‘kapsul waktu danau’ itu yang biasa kita sebut dalam rencana. Isi kapsul tersebut seperti anak kecil pada umumnya, cita-cita bersama. Kapsul waktu terkubur sempurna namun hujan mengguyur kita. Aku seperti anak kecil lain yang kegirangan bermandikan hjan walaupun aku tahu mamah pasti akan marah. Kamu tetap di bawah pohon. Wajahmu pucat menggigil. Aku panic. Aku mendekat dan menangis. Tiba-tiba kau memelukku.
“Aku suruh kamu pakai baju putri-putrian sama pangeran-pangeranan mau upacara pernikahan. Mau gak kamu nikah sama aku?”ujar adit dengan lafal cadelnya dengan gigi gemeretak menahan dingin. Aku mengangguk malu. Kemudian kamu memelukku dan mencium dahiku, yang aku tahu tiba-tiba ada darah segar mengalir dan itu terakhir kalinya aku bertemu kamu, Adit.

*

Kita berdua menggali tanah mengambil ‘kapsul waktu danau’. Aku berusaha tidak mengingat kejadian Yama dan Reynald, kebodohan yang aku sesali. Aku menatap Adit, dia sudah besar, badannya tegap namun wajah polos dan alis tebalnya masih tetap memikatku. “Keadaan kamu gimana?”tanyaku ragu.
Adit tersenyum manis sekali dan dengan gugup dia menjawab, “Setelah berobat aku lumayan baikan dan sekarang aku kesini lagi karna hati aku tertinggal.” Adit menunjukkan dua kertas di kapsul waktu danau yang berisi sama. ‘semoga Adit dan Kika selalu bersama selamanya’.
Aku tersenyum malu, Adit tersenyum sambil mengangkat alisnya kemudian dia merengkuhku. Aku tenggelam dalam pelukannya.
“Masih ingat upacara pernikahan? Aku butuh teman hidup untuk mengatur pola hidup agar penyakitku tak lagi kambuh.” Dia tersenyu menggoda. Aku tak menjawab hanya tetap nyaman dipelukannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar