Sabtu, 12 Oktober 2013

Figura Kenangan


Cerpen Figura Kenangan by: Mentary @AIITHARICH









Berkemas rasanya tak pernah sesakit ini begitupun langkah dengan beban-beban kenangan yang membingungkan. Malam masih remaja dengan lampu-lampu yang mulai temarang menggantikan senja satu persatu bersama lalu lalang. Masih ada banyak detik yang dapat dihabiskan untuk salam pada mereka yang pernah dipertemukan Tuhan. Perpisahan tak pernah mudah selalu ada rumit yang menempel seperti parasit. Bertemu mereka sama saja bunuh diri, langkahku akan mati dan bertahan tetap di sini. Begitulah hidup membawa kita seperti menaiki roller coster, akan selalu ada jeritan entah kesenangan atau memaki pilihan seperti aku saat ini yang mengutuki perpisahan. Aku menatap figura foto kami berempat penuh tawa dan senyum kemudian memasukinya ke dalam koper penuh pilihan.  Aku masuki kembali barang-barang penting lain ke dalam koper, tidak semuanya ku bawa karna aku tahu hanya akan membuat kenangan semakin menghatuiku. Pandangan ku terkunci dalam figura foto berikutnya, ada dua pasang manusia di bawah pohon taman sekolah bergaya penuh bahagia, wanita membawa buku kesayangannya dan pria memangku manis gitar yang dia pakai untuk mengungkapkan rasa yang tak selama ini tertahan pada sang wanita. Tak ada air mata ataupun senyuman, aku hanya menjerit dalam hati.
Semua perpisahan pasti akan ada perjalanan berikutnya dengan hal-hal yang mendewasakan sampai kita lelah dan kembali ke pulang. Definisi pulang begitu subjektif sulit dapat terdeskripsi, tapi pelukan seseorang yang menanti kita dengan wajah seolah berkata ‘akhirnya kita kembali dipertemukahn’ dengan penuh rindu itu adalah pulang menurutku. Mereka adalah perjalanan yang mendewasakanku juga pulang yang aku harapkan namun terhenti pada perpisahan dan segala ketidak-mungkinan.
Sangat jelas dalam otakku bagaimana semua seperti berotasi terbalik ke awal manisnya kita saling bertautan. Siang itu dengan gerusuk  yang selalu kuocehi Reuben dan Mikha berlari menyusuri koridor sekolah sambil meneriaki namaku berulang kali yang  seharusnya tak perlu dilakukan karna dengan jelas telingaku masih baik mendengar dan mataku dapat melihat dua sosok kakak beradik dengan wajah blasteran jerman-jepang-jawa- batak itu. Sungguh keanekaragaman suku yang ada pada mereka sehingga tak dapat dipungkiri tidak sedikit yang menggilai mereka berdua dengan sosok yang selalu ditemani gitar-gitar gagah itu kecuali aku dan Namira, gadis yang entah bagaimana sudah duduk di sampingku dengan handycam andalannya bernama kwuk. Nama lucu untuk bahan ejekan kami.
Aku menikmati keberadaan mereka yang menjelma menjadi sosok candu kebahagiaanku.  Kami berbagi apa saja yang kami punya, suka, duka, tawa, ataupun resah adalah konsumsi yang lezat ketika kami kecap bersama. Kami sering merebahkan malas pada sofa kenyamanan lengan masing-masing dalam kehangatan secangkir latte bersama tawa renyah yang membuat perut kenyang akan kebersamaan. Satu yang aku harap dari semua ini: Persahabatan yang (semoga) selamanya.
Belum sempurna semua itu tanpa seseorang yang aku namakan si pembuat mimpi,. Dia adalah senior seperti kebanyakan yang terlihat memukau dengan gayanya dan juga jabatan ketua osis yang membuat dia lebih sekedar sosok yang sering aku baca dalam novel tapi lebih dari apa yang selalu aku tulis dalam lembar-lembar cerita yang kerap diterbitkan dalam majalah-majalah yang memuat berbagai cerpen, iya dia adalah apa yang sering aku tulis. Karna aku mengingat melalui tulisa, mengabadikan segala melalui tulisan.
“Kiandra, Ka Bagus tuh,” ujar Namira yang segera mengarahkan lensa-kwuk-nya padaku, mengabadikan ekspresi gugup dan salah tingkah dan pipi memerah ku yang pasti selalu terlihat ketika keadaan mempertemukanku berulang kali dengan Ka Bagus.
Sepersekian detik Ka Bagus lewat begitu saja dan di ujung koridor ada seorang wanita cantik yang siap mengapit lengan yang seandainya menjadi milikku. Aku tak pernah membenci wanita itu, aku hanya iri dengan jutaan kasih sayang yang dia terima dari Ka Bagus.

Setelahnya Reuben Kembali membuat ricuh, dia menirukan mimik wajahku saat menatap Ka Bagus dengan malu-malu yang dilebih-lebihkan. Ejekan seperti kopi, terasa pahit namun manis. Aku tidak jengkel malahan menikmati saat bersama seperti ini dan sudahn ya aku seperti biasa mencari pembelaan dari Mikha yang pasti membelaku sementara Reuben dan Namira akan bersekongkol meledekku. Kami seperti dua kubu yang berseteru bersama tawa.

***

Aku takut harus melakoni ‘Cinta tak harus dimiliki” seperti yang tertulis di syair lagu yang selalu aku mainkan atau terlihat di layar kaca. Tapi banyak hal yang harus dipertahankan dalam hidup termasuk cinta yang tetahan karna alasan persahabatan. Deru yang terdengar karna aliran darah yang memompa begitu cepat pada jantungnya terdengar gila dalam pikiran yang memaksa aku bertindak. Sosok itu tepat di bawah pohon duduk manis dengan kebiasaannya dan buku-buku yang selalu dia baca atau diary manis berisi banyak hal tentang cinta yang dia tulis, yang-aku-tahu-bukan-tentang-aku. Tulisan-tulisan tentang si pencipta mimpi yang selama ini dia puja. Perlahan aku mendekat sambil menenteng gitar kesayanganku.
Dia menatapku lalu tersenyum menyapu rumput sampingnya dengan tangan lembut itu lalu mempersilahkan duduk. Aku duduk dan dia kembali menulis, kemudian aku memainkan beberapa lagu sampai dia tertarik lalu berencana menuliskan sesuatu untukku. Iya untukku bukan untuk Bagus si pencipta mimpi itu. Sungguh bodoh aku langsung angkuh dan merasa adai lebih dari kesempatan bersamanya tapi juga sepenuhnya memilikinya apalagi dengan tawa renyah yang kembali dia sunggingkan.
“Aku cinta kamu Kiandra..” Tuturku lembut sambil menatap bola mata coklat yang juga ada dalam tatapanku. Aku tidak hanya melihat bayangku di sana tapi juga kekalutan yang membutuhkan pelukan. Aku tak mengerti apa yang terjadi, dia seperti memaksaku tenggelam dalam tatapan yang cukup membuatku gila dalam ruang-ruang retina yang membuatku candu. Apapun itu aku tak suka jatuh kecuali dalam cintamu, aku tak suka lemah kecuali dalam pelukanmu, dan  aku tak suka tenggelam kecuali dalam tatapanmu .
“Aku juga sepertinya…” Ujarnya lirih dengan nada menggantung yang tak dilanjutkan membuat tidak seperti jawaban malah lebih ke pendapat yang membutuhkan pembenaran dan pembelaan, tapi bukankah selama ini  aku selalu membelanya dari ejekan yang dia nikmati? Apapun itu aku mencintainya.
Namira dengan wajah penuh air mata berdiri di depan kami sambil membawa handycam yang ternyata sedari tadi dia arahkan untuk merekam kami diam-diam. Kristal bening menetes dari kelopak matanya. Aku tidak mengerti dia merasa bahagia karna kedua sahabatnya bertautan atau dia takut karna cinta persahabatan akan berantakan. Tapi rasanya bukan keduanya.
“Selamat ya Mikha-Kiandra…” Suara Namira hampir tak terdengak kalau saja Reuben tidak menguping diam-diam diujung sana sambil menggendong gitarnya.

***

Tepat pukul jam delapan pagi saat ayam sudah lelah berkokok nyaring akupun terbangun masih dalam posisi  koper di depanku dan segala barang-barang yang penting di dalamnya. Semalaman aku tertidur di lantai, menyedihkan sebegitu rindunya aku pada semua kebersamaan itu.
“Ayo sayang kita harus segera menuju bandara,”katanya lembut. Aku tersenyum lalu bangkit dan masuk ke dalam mobil tanpa mandi sedikitpun. Aku tahu ini sudah telat.
Sampai pada segala hal yang tidak dapat aku cegah lagi, perpisahan . Inilah hidup kita akan mengalami pertemuan yang telah direncanakan Tuhan dan perpisahan yang tak pernah terpikirkan.  Aku menatap kaca mobil yang melewati sekolah kami dulu sekali, tempat apa yang disebut kebersamaaan lalu melewati jalan-jalan yang dipenuhi pekerja kantoran memburu waktu mengais rejeki di ibukota yang keras ini. Sebuah tangan menggenggamku erat dan akupun melirik, dia tersenyum meyakinkan semua akan baik-baik saja dan aku yakin itu. Aku mencintai semua yang dia katakan. Dia adalah Pencipta mimpi pada nyataku.
Bandara seperti biasa ramai dengan berbagai wajah asing tapi tidak dengan hatiku yang sepi. Mungkin memang seseorang telah menggenapi dan melengkapi hariku tapi kehilangan bukankah selalu terjadi saat perpisahan? Semua masih asing sampai aku menemukan dua sosok yang tak pernah asing dalam bayanganku.
Mereka berdua memelukku hingga aku rasa hampir remuk dan melumer bersama tangis yang telah kami tumpahkan saat ini.
“Nanti aku bakal ke sana nemuin kalian berdua. Bagaimanapun kita tetep sahabatan. Lupain ego yang bertahun-tahun kita pertahankan sampai ngerusak semuanya,” ucap Namira sambil mengusap air mata pada pipinya.
Aku belum dapat menjawab masih menangis sampai si pencipta mimpiku membelai lembut rambutku member ketenangan. “Iya pasti, kalian berdua jaga diri ya,” kataku dengan nada tidak karuan karna diselingi tangis.
Dua pria di sampingku saling bertatapan laulu tesenyum dan bersalaman. “ Maaf gue emang bego banget salah ngerebut begitu aja padahal gue tau sebelum gue nembak Kiandra lo sama dia dan keliatan lo sayang banget,” kata Mikha.
Reuben tersenyum. “Gak ada siapa yang ngerebut siapa, hidup itu seperti papan catur, ada putih ada hitam dan penuh dengan usaha, kita bertarung untuk menjadi pemenang.”
Aku dan Namira menatap mereka berdua, kami seperti kembali pada masa lalu dengan seragam putih abu-abu yang sudah lama ditanggalkan. Pikiran menjelma seperti pasar dengan bising yang begitu banyak ingin dikeluarkan tapi tertahan, hanya air mata yang dapat menggambarkan.
“Kalau gak ada figura foto itu mungkin kita gak akan pernah kayak gini. Kita bakal terus membohongi hati masing-masing.” Ujar Namira.
Suara  pusat informasi yang mengabarkan bahwa pesawat kami akan flight pun terdengar. Aku pamit dan pergi berama suamiku, Reuben ke tempat  baru kami. Reuben merangkulku masuk ke dalam menuju pesawat Namira dan Mikha menatap penuh haru sambil tangan mereka bertautan dengan cincin pertunangan yang mereka kenakan.
Persahabatan adalah hadiah yang diberikan pada kita sendiri untuk diri kita sendiri dan kebahagiaan tidak dapat dihalangi oleh jarak ataupun waktu.Iya begitulah hidup kita tak akan pernah tau kejutan-kejutan di dalamnya dan ending apa yang kita alami.
Aku mencintai kalian dan persahabatan kita terutama masa depanku yang sekarang bersama, Reuben.

***

“Kiandra aku punya lagu baru nih.”
“Oh ya? Tentang apa?”
“Tentang dua sahabat yang saling sayang tapi gak menyadarinya,”jelas aku dengan senyum yang dibuat-buat menutupi perasaannya agar tak tertangkap Kiandra.
Kita bernyanyi bersama dengan petikan gitar. Sungguh Aku ingin mengutarakan semuanya tapi takut lebih dominan saat ini. Bukan, bukan aku pengecut tapi aku hanya tak ingin merusak segalanya.
Entah bagaimana ceritanya Kiandra mengeluarkan kamera lomo, jarang sekali dia bawa tapi dia bilang ini khusus , Kiandra ingin menyimpan foto kami berdua. Dia memberi aku satu lembar foto dan satu lagi dia simpan. Aku merasa special, aku merasa memiliki kesempatan.
Aku izin ke toilet sebentar untuk menenangkan diri, mengatur nafas yang memburu dan degup yang hamper membuatku mati. Aku bertekat mengatakan perasaanku. Saat aku kembali  kecewa malah datang menghampiriku, Pandanganku terkunci pada sosok Mikha yang duduk tepat di tempat aku tadi-bersama Kiandra. Dengan yakin Mikha mengutarakan perasaannya. Kiandra mengiyakan,saat itu hati ku hancur. Aku terpaku diujung taman dengan foto yang masih aku pegang .


***





1 komentar:

  1. Apapun itu aku tak suka jatuh kecuali dalam cintamu, aku tak suka lemah kecuali dalam pelukanmu, dan  aku tak suka tenggelam kecuali dalam tatapanmu <---- kata-kata buat ngemodus :D

    BalasHapus