Cerpen Figura Kenangan by: Mentary @AIITHARICH
Berkemas rasanya tak pernah sesakit ini begitupun langkah dengan beban-beban kenangan yang membingungkan. Malam masih remaja dengan lampu-lampu yang mulai temarang menggantikan senja satu persatu bersama lalu lalang. Masih ada banyak detik yang dapat dihabiskan untuk salam pada mereka yang pernah dipertemukan Tuhan. Perpisahan tak pernah mudah selalu ada rumit yang menempel seperti parasit. Bertemu mereka sama saja bunuh diri, langkahku akan mati dan bertahan tetap di sini. Begitulah hidup membawa kita seperti menaiki roller coster, akan selalu ada jeritan entah kesenangan atau memaki pilihan seperti aku saat ini yang mengutuki perpisahan. Aku menatap figura foto kami berempat penuh tawa dan senyum kemudian memasukinya ke dalam koper penuh pilihan. Aku masuki kembali barang-barang penting lain ke dalam koper, tidak semuanya ku bawa karna aku tahu hanya akan membuat kenangan semakin menghatuiku. Pandangan ku terkunci dalam figura foto berikutnya, ada dua pasang manusia di bawah pohon taman sekolah bergaya penuh bahagia, wanita membawa buku kesayangannya dan pria memangku manis gitar yang dia pakai untuk mengungkapkan rasa yang tak selama ini tertahan pada sang wanita. Tak ada air mata ataupun senyuman, aku hanya menjerit dalam hati.
Semua perpisahan pasti akan ada perjalanan berikutnya dengan
hal-hal yang mendewasakan sampai kita lelah dan kembali ke pulang. Definisi
pulang begitu subjektif sulit dapat terdeskripsi, tapi pelukan seseorang yang
menanti kita dengan wajah seolah berkata ‘akhirnya kita kembali dipertemukahn’
dengan penuh rindu itu adalah pulang menurutku. Mereka adalah perjalanan yang
mendewasakanku juga pulang yang aku harapkan namun terhenti pada perpisahan dan
segala ketidak-mungkinan.
Sangat jelas dalam otakku bagaimana semua seperti berotasi
terbalik ke awal manisnya kita saling bertautan. Siang itu dengan gerusuk yang selalu kuocehi Reuben dan Mikha berlari
menyusuri koridor sekolah sambil meneriaki namaku berulang kali yang seharusnya tak perlu dilakukan karna dengan
jelas telingaku masih baik mendengar dan mataku dapat melihat dua sosok kakak
beradik dengan wajah blasteran jerman-jepang-jawa- batak itu. Sungguh
keanekaragaman suku yang ada pada mereka sehingga tak dapat dipungkiri tidak
sedikit yang menggilai mereka berdua dengan sosok yang selalu ditemani
gitar-gitar gagah itu kecuali aku dan Namira, gadis yang entah bagaimana sudah
duduk di sampingku dengan handycam andalannya bernama kwuk. Nama lucu untuk
bahan ejekan kami.
Aku menikmati keberadaan mereka yang menjelma menjadi sosok
candu kebahagiaanku. Kami berbagi apa
saja yang kami punya, suka, duka, tawa, ataupun resah adalah konsumsi yang
lezat ketika kami kecap bersama. Kami sering merebahkan malas pada sofa
kenyamanan lengan masing-masing dalam kehangatan secangkir latte bersama tawa
renyah yang membuat perut kenyang akan kebersamaan. Satu yang aku harap dari
semua ini: Persahabatan yang (semoga) selamanya.
Belum sempurna semua itu tanpa seseorang yang aku namakan si
pembuat mimpi,. Dia adalah senior seperti kebanyakan yang terlihat memukau
dengan gayanya dan juga jabatan ketua osis yang membuat dia lebih sekedar sosok
yang sering aku baca dalam novel tapi lebih dari apa yang selalu aku tulis
dalam lembar-lembar cerita yang kerap diterbitkan dalam majalah-majalah yang
memuat berbagai cerpen, iya dia adalah apa yang sering aku tulis. Karna aku
mengingat melalui tulisa, mengabadikan segala melalui tulisan.
“Kiandra, Ka Bagus tuh,” ujar Namira yang segera mengarahkan
lensa-kwuk-nya padaku, mengabadikan ekspresi gugup dan salah tingkah dan pipi
memerah ku yang pasti selalu terlihat ketika keadaan mempertemukanku berulang
kali dengan Ka Bagus.
Sepersekian detik Ka Bagus lewat begitu saja dan di ujung
koridor ada seorang wanita cantik yang siap mengapit lengan yang seandainya
menjadi milikku. Aku tak pernah membenci wanita itu, aku hanya iri dengan
jutaan kasih sayang yang dia terima dari Ka Bagus.
Setelahnya Reuben Kembali
membuat ricuh, dia menirukan mimik wajahku saat menatap Ka Bagus dengan
malu-malu yang dilebih-lebihkan. Ejekan seperti kopi, terasa pahit namun manis.
Aku tidak jengkel malahan menikmati saat bersama seperti ini dan sudahn ya aku
seperti biasa mencari pembelaan dari Mikha yang pasti membelaku sementara
Reuben dan Namira akan bersekongkol meledekku. Kami seperti dua kubu yang
berseteru bersama tawa.
***
Aku takut harus melakoni ‘Cinta
tak harus dimiliki” seperti yang tertulis di syair lagu yang selalu aku mainkan
atau terlihat di layar kaca. Tapi banyak hal yang harus dipertahankan dalam
hidup termasuk cinta yang tetahan karna alasan persahabatan. Deru yang
terdengar karna aliran darah yang memompa begitu cepat pada jantungnya
terdengar gila dalam pikiran yang memaksa aku bertindak. Sosok itu tepat di
bawah pohon duduk manis dengan kebiasaannya dan buku-buku yang selalu dia baca
atau diary manis berisi banyak hal tentang cinta yang dia tulis,
yang-aku-tahu-bukan-tentang-aku. Tulisan-tulisan tentang si pencipta mimpi yang
selama ini dia puja. Perlahan aku mendekat sambil menenteng gitar kesayanganku.
Dia menatapku lalu tersenyum
menyapu rumput sampingnya dengan tangan lembut itu lalu mempersilahkan duduk.
Aku duduk dan dia kembali menulis, kemudian aku memainkan beberapa lagu sampai
dia tertarik lalu berencana menuliskan sesuatu untukku. Iya untukku bukan untuk
Bagus si pencipta mimpi itu. Sungguh bodoh aku langsung angkuh dan merasa adai
lebih dari kesempatan bersamanya tapi juga sepenuhnya memilikinya apalagi
dengan tawa renyah yang kembali dia sunggingkan.
“Aku cinta kamu Kiandra..” Tuturku
lembut sambil menatap bola mata coklat yang juga ada dalam tatapanku. Aku tidak
hanya melihat bayangku di sana tapi juga kekalutan yang membutuhkan pelukan.
Aku tak mengerti apa yang terjadi, dia seperti memaksaku tenggelam dalam
tatapan yang cukup membuatku gila dalam ruang-ruang retina yang membuatku
candu. Apapun itu aku tak suka jatuh kecuali dalam cintamu, aku tak suka lemah
kecuali dalam pelukanmu, dan aku tak
suka tenggelam kecuali dalam tatapanmu .
“Aku juga sepertinya…” Ujarnya
lirih dengan nada menggantung yang tak dilanjutkan membuat tidak seperti
jawaban malah lebih ke pendapat yang membutuhkan pembenaran dan pembelaan, tapi
bukankah selama ini aku selalu membelanya
dari ejekan yang dia nikmati? Apapun itu aku mencintainya.
Namira dengan wajah penuh air
mata berdiri di depan kami sambil membawa handycam yang ternyata sedari tadi
dia arahkan untuk merekam kami diam-diam. Kristal bening menetes dari kelopak
matanya. Aku tidak mengerti dia merasa bahagia karna kedua sahabatnya bertautan
atau dia takut karna cinta persahabatan akan berantakan. Tapi rasanya bukan
keduanya.
“Selamat ya Mikha-Kiandra…”
Suara Namira hampir tak terdengak kalau saja Reuben tidak menguping diam-diam
diujung sana sambil menggendong gitarnya.
***
Tepat pukul jam delapan pagi
saat ayam sudah lelah berkokok nyaring akupun terbangun masih dalam posisi koper di depanku dan segala barang-barang
yang penting di dalamnya. Semalaman aku tertidur di lantai, menyedihkan
sebegitu rindunya aku pada semua kebersamaan itu.
“Ayo sayang kita harus segera
menuju bandara,”katanya lembut. Aku tersenyum lalu bangkit dan masuk ke dalam
mobil tanpa mandi sedikitpun. Aku tahu ini sudah telat.
Sampai pada segala hal yang
tidak dapat aku cegah lagi, perpisahan . Inilah hidup kita akan mengalami pertemuan
yang telah direncanakan Tuhan dan perpisahan yang tak pernah terpikirkan. Aku menatap kaca mobil yang melewati sekolah
kami dulu sekali, tempat apa yang disebut kebersamaaan lalu melewati
jalan-jalan yang dipenuhi pekerja kantoran memburu waktu mengais rejeki di
ibukota yang keras ini. Sebuah tangan menggenggamku erat dan akupun melirik,
dia tersenyum meyakinkan semua akan baik-baik saja dan aku yakin itu. Aku
mencintai semua yang dia katakan. Dia adalah Pencipta mimpi pada nyataku.
Bandara seperti biasa ramai
dengan berbagai wajah asing tapi tidak dengan hatiku yang sepi. Mungkin memang
seseorang telah menggenapi dan melengkapi hariku tapi kehilangan bukankah
selalu terjadi saat perpisahan? Semua masih asing sampai aku menemukan dua
sosok yang tak pernah asing dalam bayanganku.
Mereka berdua memelukku hingga
aku rasa hampir remuk dan melumer bersama tangis yang telah kami tumpahkan saat
ini.
“Nanti aku bakal ke sana nemuin
kalian berdua. Bagaimanapun kita tetep sahabatan. Lupain ego yang bertahun-tahun
kita pertahankan sampai ngerusak semuanya,” ucap Namira sambil mengusap air
mata pada pipinya.
Aku belum dapat menjawab masih
menangis sampai si pencipta mimpiku membelai lembut rambutku member ketenangan.
“Iya pasti, kalian berdua jaga diri ya,” kataku dengan nada tidak karuan karna
diselingi tangis.
Dua pria di sampingku saling
bertatapan laulu tesenyum dan bersalaman. “ Maaf gue emang bego banget salah ngerebut
begitu aja padahal gue tau sebelum gue nembak Kiandra lo sama dia dan keliatan
lo sayang banget,” kata Mikha.
Reuben tersenyum. “Gak ada
siapa yang ngerebut siapa, hidup itu seperti papan catur, ada putih ada hitam
dan penuh dengan usaha, kita bertarung untuk menjadi pemenang.”
Aku dan Namira menatap mereka
berdua, kami seperti kembali pada masa lalu dengan seragam putih abu-abu yang
sudah lama ditanggalkan. Pikiran menjelma seperti pasar dengan bising yang
begitu banyak ingin dikeluarkan tapi tertahan, hanya air mata yang dapat
menggambarkan.
“Kalau gak ada figura foto itu
mungkin kita gak akan pernah kayak gini. Kita bakal terus membohongi hati
masing-masing.” Ujar Namira.
Suara pusat informasi yang mengabarkan bahwa
pesawat kami akan flight pun terdengar. Aku pamit dan pergi berama suamiku,
Reuben ke tempat baru kami. Reuben
merangkulku masuk ke dalam menuju pesawat Namira dan Mikha menatap penuh haru
sambil tangan mereka bertautan dengan cincin pertunangan yang mereka kenakan.
Persahabatan adalah hadiah yang
diberikan pada kita sendiri untuk diri kita sendiri dan kebahagiaan tidak dapat
dihalangi oleh jarak ataupun waktu.Iya begitulah hidup kita tak akan pernah tau
kejutan-kejutan di dalamnya dan ending apa yang kita alami.
Aku mencintai kalian dan
persahabatan kita terutama masa depanku yang sekarang bersama, Reuben.
***
“Kiandra aku punya lagu baru
nih.”
“Oh ya? Tentang apa?”
“Tentang dua sahabat yang
saling sayang tapi gak menyadarinya,”jelas aku dengan senyum yang dibuat-buat
menutupi perasaannya agar tak tertangkap Kiandra.
Kita bernyanyi bersama dengan
petikan gitar. Sungguh Aku ingin mengutarakan semuanya tapi takut lebih dominan
saat ini. Bukan, bukan aku pengecut tapi aku hanya tak ingin merusak segalanya.
Entah bagaimana ceritanya
Kiandra mengeluarkan kamera lomo, jarang sekali dia bawa tapi dia bilang ini
khusus , Kiandra ingin menyimpan foto kami berdua. Dia memberi aku satu lembar
foto dan satu lagi dia simpan. Aku merasa special, aku merasa memiliki
kesempatan.
Aku izin ke toilet sebentar
untuk menenangkan diri, mengatur nafas yang memburu dan degup yang hamper
membuatku mati. Aku bertekat mengatakan perasaanku. Saat aku kembali kecewa malah datang menghampiriku,
Pandanganku terkunci pada sosok Mikha yang duduk tepat di tempat aku
tadi-bersama Kiandra. Dengan yakin Mikha mengutarakan perasaannya. Kiandra
mengiyakan,saat itu hati ku hancur. Aku terpaku diujung taman dengan foto yang
masih aku pegang .
***
***
Apapun itu aku tak suka jatuh kecuali dalam cintamu, aku tak suka lemah kecuali dalam pelukanmu, dan aku tak suka tenggelam kecuali dalam tatapanmu <---- kata-kata buat ngemodus :D
BalasHapus