Kamis, 05 September 2013

Tidak harus memiliki



Cerpen Tidak Harus MemilikiBy: Mentary @AIITHARICH



ADERIA…
Sepoi angin di sore hari menyapu rambutku yang sengaja kuriap menutupi wajah senja yang jelas terpahat. Lembar-lembar buku itu ku balik berulang kali tanpa terbaca hanya abjad-abjad yang menyembul dengan karakter berbeda yang setidaknya ku konsumsi untuk pura-pura menutupi kegelisahan ini. Pikiranku jauh pergi ke tempat lain bersama luka-luka yang pernah mendobrak tameng pertahananku. Dengan sisa-sisa keeping percaya kini kembali aku bangun benteng siaga jikalau adalagi yang ingin menjatuhkan ku lebih dalam daripada pengkhianatan. Seharusnya semua itu tak lagi kupikirkan tapi apadaya perasaan selalu berusaha menjadi pimpinan.
Kini aku punya seseorang lain yang beberapata tahun belakangan ini menjagaapa yang aku pertahan, iya kepercayaan. Dia mengobati luka yang tak terlihat itu dengan semua perhatian yang dia berikan. Aku teramat mencintainya, seharusnya. Sial ego ku selalu seperti itu, ponggah pada kenyataan lalu menyelami kembali luka-luka dulu dan kadang berharap tak pernah terjadi padahal ada dia yang kini bersama  ku.
Aku terperanjatketika sadar di pojok taman Mikha menatapku, dan karna refleksku menantang sekarang kami saling bertatapan. Mikha sama sekali tak bergeming berniat mengalihkan pandangannya. Akupun salah tingkah sendiri seperti gadis-gadis pemain boneka yang kekanakan itu. Bola mata coklat, wajah polos , alis tebal dan bibir yang ingin sekali aku miliki itu benar-benar membuatku sepersekian detik ingin dating dan mengacak-acak lembut rambutnya seperti biasa. Dia adalah orang yang sering sekali mengisi buku diary ku dengan tulisan-tulisan yang akan aku baca berkali-kali sambil tersenyum konyol.
Ah tidak, apa mungkin dia tadi melihat aku melamun? Sungguh apa yang harus ku katakan kalau dia bertanya apa yang aku lamunkan. Aku belum juga membuang muka begitu juga Mikha dia benar-benar seperti menguasai aku dengan tatapannya itu. Ini bukan pribadi Mikha yang sepeti biasa dengan segala kepolosannya, entah apa yang dipikirkan dia saat itu. Sudah berkali-kali jarum jam berdetak sampai aku yang harus membuang pandang terlebih dahulu.
Tapi Mikha masih menatapku…
Aku bangkit meninggalkan air mancur pusat taman sekolah itu bergegas memerdekakan diri dari tatapannya yang menjajah, tatapan yang diam-diam sebenarnya ku nikmati. Tentengan tas tak begitu berat tapi punggungku terasa panas aku tahu itu karna mika masih menatapku dari belakang. Jantungku benar-benar berderu meminta reparasi pada buku diary yang siap menjadi tempat sampah yang sangat ku hormati.
Keluar dari pagar sekolah aku segera memanggil taksi agar mengantarku menuju rumah. Aku menyayanginya. Kadang aku takut ada hal lllain terjadi, aku benci perubahan dan harus mengulang dari awal. Aku nyaman dengan semua ini. Ku pegang erat kalung berinsial M dan A sambil tersenyum. Setia adalah apa yang harus dihasilkan dari kepercayaan. Semoga Mikha tak menangkap apa yang tadi kupikirkan.

MIKHA…
Kali ini aku berani menatapnya lebih lama dari biasa atau bahkan sangat lama, tak adalagi mencuri-curi pandang seperti anak kecil yang ingin menyontek pada ulangan di pelajaran yang tak dia mengerti. Aku mengerti tentang Aderia jadi untuk apa aku harus mencuri-curi? Bukankah lebih akan jelas kalau menatapnya dengan penuh. Aku benar-benar terpikat sore itu, di antara lalu lalang keramaian siswa bergegas pulang dia duduk di sisi air mancur dengan novel romantic yang selalu dia baca. Aku pernah berkhayal suatu ketika saat membaca dalam lekat imajinasinya adalah aku dan dia yang saling bahagia dalam tiap abjad dalam novel itu. Berharap kita adalah mimpi yang dijadikan nyata oleh Tuhan.
Angin setuju pada pendapatku, dia memainkan rambut indah Aderia sehingga lemak di pipi yang membuat lucu itu dan mata kucingnya semakin terlihat jelas. Mungkin gila tapi sungguh rasanya aku ingin berlari memeluknya dan tak akan pernah melepaskannya dari jari-jari yang biasa ku gunakan memetik gitar sambil menyenandungkan lagu tentangnya tiap malam.
Tiba-tiba Aderia menatapku balik.
Mata kami saling bertatapan.
Jantungku mau copot seperti digoncang-goncangkan pada permainan penguji adrenalin.
Wajahnya benar-benar membuat aku terkunci tatap ingin mencium lembut bibir merahnya. Gila? Sangat. Bagaimana mungkin apalagi sedari tadi dia melamun, aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu tentang masa lalunya. Atau tentang orang yang dia cintai. Semoga aku. Aku benci mengetahui orang lain yang dia pikirkan. Beberapa saat setelah daun ikut menjatuhkan dirinya pada pesona Aderia akupun tersadar dia bangun dan bergegas pergi. Aku masih menatapnya sambil memaki diriku sendiri. Punggungnya telah pergi tapi hati ini masih sendu.
Walau temaram karna jarak aku masih dapat melihat dia memegang erat kalung yang dia kenakan. Liontin manis berukiran M dan A yang jelas tak pernah kuberi. Semua itu membuyarkan khayalan ku jelas Aderia bukan lagi milikku. Dia milik Magenta orang yang telah mengobati luka-luka di hatinya karna kepergianku meninggalkannya begitu saja waktu itu. Sekarang aku kembali lagi dan ingin meminta seperti dulu? Ku rasa mustahil. Perjuangan yang kita lakukan bersama dulu sia-sia begitu saja ketika aku pergi dipisahkan oleh orang tua kami.
Adakalanya cinta memang munafik ketika lafal cinta tak harus dimiliki memang harus terjadi.
Dikala asal dia bahagia aku juga bahagia terpaksa dilakoni.
Setiap malam aku hanya bisa menyanyi sambil menatap bulan memikirkannya. Atau ketika kami bertemu di rumah hanya bersikap biasa seperti tak pernah ada apa-apa. MEnjalani hari-hari seperti keluarga sewajarnya. Iya aku sadar memang tidak mungkin seorang adik dan kakak saling mencintai lebih dari ikatan keluarga. Setelah perjuangan yang sia-sia aku hanya akan tetap menjadi adik polosnya seperti sedia kala.

2 komentar: