Sepoi angin di sore hari menyapu rambutku yang sengaja
kuriap menutupi wajah senja yang jelas terpahat. Lembar-lembar buku itu ku
balik berulang kali tanpa terbaca hanya abjad-abjad yang menyembul dengan
karakter berbeda yang setidaknya ku konsumsi untuk pura-pura menutupi
kegelisahan ini. Pikiranku jauh pergi ke tempat lain bersama luka-luka yang
pernah mendobrak tameng pertahananku. Dengan sisa-sisa keeping percaya kini
kembali aku bangun benteng siaga jikalau adalagi yang ingin menjatuhkan ku
lebih dalam daripada pengkhianatan. Seharusnya semua itu tak lagi kupikirkan
tapi apadaya perasaan selalu berusaha menjadi pimpinan.
Kini aku punya seseorang lain yang beberapata tahun
belakangan ini menjagaapa yang aku pertahan, iya kepercayaan. Dia mengobati
luka yang tak terlihat itu dengan semua perhatian yang dia berikan. Aku teramat
mencintainya, seharusnya. Sial ego ku selalu seperti itu, ponggah pada
kenyataan lalu menyelami kembali luka-luka dulu dan kadang berharap tak pernah
terjadi padahal ada dia yang kini bersama
ku.
Aku terperanjatketika sadar di pojok taman Mikha menatapku,
dan karna refleksku menantang sekarang kami saling bertatapan. Mikha sama
sekali tak bergeming berniat mengalihkan pandangannya. Akupun salah tingkah
sendiri seperti gadis-gadis pemain boneka yang kekanakan itu. Bola mata coklat,
wajah polos , alis tebal dan bibir yang ingin sekali aku miliki itu benar-benar
membuatku sepersekian detik ingin dating dan mengacak-acak lembut rambutnya
seperti biasa. Dia adalah orang yang sering sekali mengisi buku diary ku dengan
tulisan-tulisan yang akan aku baca berkali-kali sambil tersenyum konyol.
Ah tidak, apa mungkin dia tadi melihat aku melamun? Sungguh
apa yang harus ku katakan kalau dia bertanya apa yang aku lamunkan. Aku belum juga
membuang muka begitu juga Mikha dia benar-benar seperti menguasai aku dengan
tatapannya itu. Ini bukan pribadi Mikha yang sepeti biasa dengan segala
kepolosannya, entah apa yang dipikirkan dia saat itu. Sudah berkali-kali jarum
jam berdetak sampai aku yang harus membuang pandang terlebih dahulu.
Tapi Mikha masih menatapku…
Aku bangkit meninggalkan air mancur pusat taman sekolah itu
bergegas memerdekakan diri dari tatapannya yang menjajah, tatapan yang
diam-diam sebenarnya ku nikmati. Tentengan tas tak begitu berat tapi punggungku
terasa panas aku tahu itu karna mika masih menatapku dari belakang. Jantungku
benar-benar berderu meminta reparasi pada buku diary yang siap menjadi tempat
sampah yang sangat ku hormati.
Keluar dari pagar sekolah aku segera memanggil taksi agar
mengantarku menuju rumah. Aku menyayanginya. Kadang aku takut ada hal lllain
terjadi, aku benci perubahan dan harus mengulang dari awal. Aku nyaman dengan
semua ini. Ku pegang erat kalung berinsial M dan A sambil tersenyum. Setia
adalah apa yang harus dihasilkan dari kepercayaan. Semoga Mikha tak menangkap
apa yang tadi kupikirkan.
MIKHA…
Kali ini aku berani menatapnya lebih lama dari biasa atau
bahkan sangat lama, tak adalagi mencuri-curi pandang seperti anak kecil yang
ingin menyontek pada ulangan di pelajaran yang tak dia mengerti. Aku mengerti
tentang Aderia jadi untuk apa aku harus mencuri-curi? Bukankah lebih akan jelas
kalau menatapnya dengan penuh. Aku benar-benar terpikat sore itu, di antara
lalu lalang keramaian siswa bergegas pulang dia duduk di sisi air mancur dengan
novel romantic yang selalu dia baca. Aku pernah berkhayal suatu ketika saat
membaca dalam lekat imajinasinya adalah aku dan dia yang saling bahagia dalam
tiap abjad dalam novel itu. Berharap kita adalah mimpi yang dijadikan nyata
oleh Tuhan.
Angin setuju pada pendapatku, dia memainkan rambut indah
Aderia sehingga lemak di pipi yang membuat lucu itu dan mata kucingnya semakin
terlihat jelas. Mungkin gila tapi sungguh rasanya aku ingin berlari memeluknya
dan tak akan pernah melepaskannya dari jari-jari yang biasa ku gunakan memetik
gitar sambil menyenandungkan lagu tentangnya tiap malam.
Tiba-tiba Aderia menatapku balik.
Mata kami saling bertatapan.
Jantungku mau copot seperti digoncang-goncangkan pada
permainan penguji adrenalin.
Wajahnya benar-benar membuat aku terkunci tatap ingin
mencium lembut bibir merahnya. Gila? Sangat. Bagaimana mungkin apalagi sedari
tadi dia melamun, aku rasa dia sedang memikirkan sesuatu tentang masa lalunya.
Atau tentang orang yang dia cintai. Semoga aku. Aku benci mengetahui orang lain
yang dia pikirkan. Beberapa saat setelah daun ikut menjatuhkan dirinya pada
pesona Aderia akupun tersadar dia bangun dan bergegas pergi. Aku masih
menatapnya sambil memaki diriku sendiri. Punggungnya telah pergi tapi hati ini
masih sendu.
Walau temaram karna jarak aku masih dapat melihat dia
memegang erat kalung yang dia kenakan. Liontin manis berukiran M dan A yang
jelas tak pernah kuberi. Semua itu membuyarkan khayalan ku jelas Aderia bukan
lagi milikku. Dia milik Magenta orang yang telah mengobati luka-luka di hatinya
karna kepergianku meninggalkannya begitu saja waktu itu. Sekarang aku kembali
lagi dan ingin meminta seperti dulu? Ku rasa mustahil. Perjuangan yang kita
lakukan bersama dulu sia-sia begitu saja ketika aku pergi dipisahkan oleh orang
tua kami.
Adakalanya cinta memang munafik ketika lafal cinta tak harus
dimiliki memang harus terjadi.
Dikala asal dia bahagia aku juga bahagia terpaksa dilakoni.
Setiap malam aku hanya bisa menyanyi sambil menatap bulan
memikirkannya. Atau ketika kami bertemu di rumah hanya bersikap biasa seperti
tak pernah ada apa-apa. MEnjalani hari-hari seperti keluarga sewajarnya. Iya
aku sadar memang tidak mungkin seorang adik dan kakak saling mencintai lebih
dari ikatan keluarga. Setelah perjuangan yang sia-sia aku hanya akan tetap
menjadi adik polosnya seperti sedia kala.
Asik namanya Mikha :D
BalasHapuswkwkk iya nih mikha :P
Hapus